Motul - Creative Consultant |
Kebebasan berdemokrasi bangsa ini mulai memasuki babak baru sejak reformasi pecah tahun 1998. Setiap warga nampak lega bisa bersuara menyampaikan opini, gagasan, ide, bahkan ketidaksetujuan dan kemarahannya pada pemerintahan. Proses kebebasan bersuara ini diyakini sebagai sebuah langkah besar membangun negara yang berkedaulatan rakyat - ya, rakyatlah yang menjadi kekuasaan sesungguhnya di negeri ini. Benarkah demikian?
Menyuarakan pendapat yang resmi adalah melewati jalur partai politik, yang kemudian dirasakan hambatan dan ketidak selarasan. Rakyat makin tidak percaya dengan kanal penyampaian pendapat yang disediakan negara. Suara rakyat kini nampaknya cuma dianggap suara-suara “nyamuk” yang cukup diizinkan melakukan demonstrasi pada tempat yang sudah dijaga oleh aparat. Cara “resmi” ini mulai dirasakan oleh rakyat sebagai cara mandul bagai berteriak di dalam kolam keruh. Kemudian entah kapan awalnya rakyat menemukan cara lain untuk berdemonstrasi yaitu dengan memblokir jalan. Cara yang dianggap efektif untuk mencari perhatian pemerintah.
Memblokir jalan biasa sudah barang tentu akan merepotkan pengguna jalan, terlebih lagi jika memblokir jalan tol. Ya, memblokir jalan tol pun sudah menjadi tren para demonstran. Lebih radikal lagi, yang diblokade adalah jalan tol arah bandara. Bandara memang terdengar seksi dalam sebuah pergerakan demonstran, selain stasiun radio, atau pusat telekomunikasi. Akan tetapi benarkan cara memblokir dan memblokade jalan itu adalah acara jitu untuk mencari perhatian pemerintah?
Sekian lama kita sebagai rakyat tahu bahwa pemerintah negeri ini tidak segitu pedulinya dengan rakyat. Kejelian pemerintah pada rakyat hanya sebatas normatif dan jargon-jargon saja. Ada banyak sarana publik yang membahayakan pun tidak menggugah perhatian pemerintah. Hingga akhirnya ada celaka dan makan korban, barulah pemerintah peduli dan prihatin. Tapi belum sampai melakukan perbaikan signifikan atas fasilitas publik membahayakan tadi. Misalnya alat transportasi.
Melihat kondisi yang demikian, nampaknya upaya demonstran memblokir dan memblokade jalan menjadi kurang pas, karena rasanya tidak akan mengambil perhatian pemerintah apalagi sampai tergugah. Yang pemerintah lakukan hanyalah mengirimkan aparat untuk mengamankan jalannya demonstrasi. Kebuntuan para demonstran lantas meningkat dan membakar emosi. Satu orang berulah, bagai menyiram bensin ke dalam kobaran sekam membara. Api mudah terbakar dan bergejolak. Aparat dan demonstran bentrok. Apa lantas menggugah pemerintah? Tetap tidak..
Yang tidak disadari oleh para demonstran tadi adalah bahwa dengan memblokir dan memblokade jalan akhirnya hanya seperti menyandera rakyat lain yang tidak berdemo. Rakyat lain yang ingin tetap bekerja dan melakukan aktivitas terpaksa terganggu dan terhenti. Sikap ini ternyata malah menghilangkan sikap dukungan dan apresiasi pro demonstran. Rakyat non-demonstran malah menyayangkan, kesal, mengumpat, dan marah atas sikap para demonstran. Yang terjadi adalah rakyat “menyandera” rakyat lain untuk mengambil perhatian pemerintah.
Akan beda situasinya jika yang diblokir dan diblokade adalah akses atau fasilitas penunjang pemerintahan. Selain sebuah simbol pergerakan cara ini terbuktik efektif seperti saat mahasiswa menduduki gedung DPR tahun 1998. Apresiasi masyarakat non-demonstran justru malah ikut mendukung aksi tersebut dengan mengirimkan makanan untuk para demonstran. Namun jika yang dilakukan adalah menyandera rakyat sejawat, maka yang timbul adalah kebencian dan malah pro ke aparat dan pemerintah. Demonstran hanya menjadi momok yang musti lekas diberantas karena cenderung menjadi benalu rakyat. Semua persepsi ini hanya dikarenakan salah dalam mengambil lokasi atau titik yang diduduki untuk berdemonstrasi.
Melihat gambaran di atas, maka pilihlah lokasi demonstrasi yang jelas konteksnya sebagai “menduduki” wilayah atau lokasi pemerintahan, bukan fasilitas publik milik rakyat. Janganlah berdemo atas nama membela rakyat namun faktanya malah menyandera rakyat. Rakyat sudah dibuat susah oleh pemerintah dan aparat, kini dibuat susah lagi oleh para demonstran yang mengaku berontak pada pemerintah atas nama bela rakyat. Rakyat yang mana? Itulah pertanyaan yang sering terdengar saat rakyat mulai gerah dengan sikap para demonstran. Membajak kendaraan, naik angkutan umum bergerombol tanpa bayar, sampai mencomot dagangan pedagang kecil, hanya akan membangun tembok besar yang memisahkan antara demonstran dengan kelompok rakyat non-demonstran.
Kini yang muncul di masyarakat adalah pertanyaan dan komentar sinis. Apakah demonstrasi ini benar untuk membela rakyat? atau sebuah kelompok yang sengaja digerakkan sebagai alat yang diciptakan justru untuk memecah-belah rakyat? Mari kita pikirkan sama-sama.
Menyuarakan pendapat yang resmi adalah melewati jalur partai politik, yang kemudian dirasakan hambatan dan ketidak selarasan. Rakyat makin tidak percaya dengan kanal penyampaian pendapat yang disediakan negara. Suara rakyat kini nampaknya cuma dianggap suara-suara “nyamuk” yang cukup diizinkan melakukan demonstrasi pada tempat yang sudah dijaga oleh aparat. Cara “resmi” ini mulai dirasakan oleh rakyat sebagai cara mandul bagai berteriak di dalam kolam keruh. Kemudian entah kapan awalnya rakyat menemukan cara lain untuk berdemonstrasi yaitu dengan memblokir jalan. Cara yang dianggap efektif untuk mencari perhatian pemerintah.
Memblokir jalan biasa sudah barang tentu akan merepotkan pengguna jalan, terlebih lagi jika memblokir jalan tol. Ya, memblokir jalan tol pun sudah menjadi tren para demonstran. Lebih radikal lagi, yang diblokade adalah jalan tol arah bandara. Bandara memang terdengar seksi dalam sebuah pergerakan demonstran, selain stasiun radio, atau pusat telekomunikasi. Akan tetapi benarkan cara memblokir dan memblokade jalan itu adalah acara jitu untuk mencari perhatian pemerintah?
Sekian lama kita sebagai rakyat tahu bahwa pemerintah negeri ini tidak segitu pedulinya dengan rakyat. Kejelian pemerintah pada rakyat hanya sebatas normatif dan jargon-jargon saja. Ada banyak sarana publik yang membahayakan pun tidak menggugah perhatian pemerintah. Hingga akhirnya ada celaka dan makan korban, barulah pemerintah peduli dan prihatin. Tapi belum sampai melakukan perbaikan signifikan atas fasilitas publik membahayakan tadi. Misalnya alat transportasi.
Melihat kondisi yang demikian, nampaknya upaya demonstran memblokir dan memblokade jalan menjadi kurang pas, karena rasanya tidak akan mengambil perhatian pemerintah apalagi sampai tergugah. Yang pemerintah lakukan hanyalah mengirimkan aparat untuk mengamankan jalannya demonstrasi. Kebuntuan para demonstran lantas meningkat dan membakar emosi. Satu orang berulah, bagai menyiram bensin ke dalam kobaran sekam membara. Api mudah terbakar dan bergejolak. Aparat dan demonstran bentrok. Apa lantas menggugah pemerintah? Tetap tidak..
Yang tidak disadari oleh para demonstran tadi adalah bahwa dengan memblokir dan memblokade jalan akhirnya hanya seperti menyandera rakyat lain yang tidak berdemo. Rakyat lain yang ingin tetap bekerja dan melakukan aktivitas terpaksa terganggu dan terhenti. Sikap ini ternyata malah menghilangkan sikap dukungan dan apresiasi pro demonstran. Rakyat non-demonstran malah menyayangkan, kesal, mengumpat, dan marah atas sikap para demonstran. Yang terjadi adalah rakyat “menyandera” rakyat lain untuk mengambil perhatian pemerintah.
Akan beda situasinya jika yang diblokir dan diblokade adalah akses atau fasilitas penunjang pemerintahan. Selain sebuah simbol pergerakan cara ini terbuktik efektif seperti saat mahasiswa menduduki gedung DPR tahun 1998. Apresiasi masyarakat non-demonstran justru malah ikut mendukung aksi tersebut dengan mengirimkan makanan untuk para demonstran. Namun jika yang dilakukan adalah menyandera rakyat sejawat, maka yang timbul adalah kebencian dan malah pro ke aparat dan pemerintah. Demonstran hanya menjadi momok yang musti lekas diberantas karena cenderung menjadi benalu rakyat. Semua persepsi ini hanya dikarenakan salah dalam mengambil lokasi atau titik yang diduduki untuk berdemonstrasi.
Melihat gambaran di atas, maka pilihlah lokasi demonstrasi yang jelas konteksnya sebagai “menduduki” wilayah atau lokasi pemerintahan, bukan fasilitas publik milik rakyat. Janganlah berdemo atas nama membela rakyat namun faktanya malah menyandera rakyat. Rakyat sudah dibuat susah oleh pemerintah dan aparat, kini dibuat susah lagi oleh para demonstran yang mengaku berontak pada pemerintah atas nama bela rakyat. Rakyat yang mana? Itulah pertanyaan yang sering terdengar saat rakyat mulai gerah dengan sikap para demonstran. Membajak kendaraan, naik angkutan umum bergerombol tanpa bayar, sampai mencomot dagangan pedagang kecil, hanya akan membangun tembok besar yang memisahkan antara demonstran dengan kelompok rakyat non-demonstran.
Kini yang muncul di masyarakat adalah pertanyaan dan komentar sinis. Apakah demonstrasi ini benar untuk membela rakyat? atau sebuah kelompok yang sengaja digerakkan sebagai alat yang diciptakan justru untuk memecah-belah rakyat? Mari kita pikirkan sama-sama.
Comments0
Terima Kasih atas saran, masukan, dan komentar anda.