Susane febriyati |
KERENTANAN
buruh perempuan terhadap eksploitasi merupakan masalah yang banyak ditemui
dalam relasi industry. Hingga saat ini buruh perempuan masih tertus mendapatkan
diskriminasi.padahal buruh perempuan memiliki peranan penting di sector ekonomi
ditunjukan dengan semakin meningkatnya
angkatan kerja perempuan yang bekerja di industry. Meskipun sejumlah hak-hak
perempuan telah dilindungi melalui UU No.13/Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
,sebagian perusahaan hampir tidak memperhatikan masalah-masalah yang spesipik
yang di alami buruh perempuan formal(Hak Maternal) seperti masalah cuti
haid,cuti melahirkan,tunjangan untuk kehamilan dan menyusui. Perusahaan tidak
memberi hak-hak tersebut di atas karena di anggap mengganggu produktivitas
kerja perusahaan dan menyebabkan biaya produksi besar hingga tidak sedikit
banyak yang memberhentikan buruh perempuan yang hamil dengan alasan yang
mengada-ngada karena tidak mau menanggung biaya persalinan.
Dalam hal upah
kerja, buruh masih mendapatkan upah yang tidak layak, dan biasanya upah
perempuan lebih rendah dari laki-laki karena buruh perempuan selalu dianggap
berstatus lajang.buruh perempuan tidak mendapatkan tunjangan keluarga,serta
jaminan social untuk suami dan anak, perempuan sangat sulit memperoleh promosi
jabatan karena selalu di tempatkan di posisi yang lebih rendah, yang tidak mensyaratkan
pendidikan dan keterampilan yang tinggi karena perempuan di tempatkan pada pekerjaan yang hanya membutuhkan ketekunan,ketelitian,dan
kerapihan saja ,dan biasanya hanya mengerjakan satu jenis pekerjaan setiap hari
selama bertahun-tahun.
Para buruh
perempuan di suruh bekerja melebihi jam kerja yang telah di tentukan tanpa
mendapatkan uang lembur,padahal undang undang ketenaga kerjaan yang di atur
dalam UU no 13 thn 2003 menyatakan bahwa jam kerja buruh adalah 8 jam. Bahkan
tidak sedikit buruh perempuan rentan terhadap pelecehan dan kekersan seksual
karena buruh perempuan masih di anggap kelas dua dalam industry, sehingga tidak
diperlakukan nyaman oleh atasan-atasannya.
Persoalan
persoalan tersebut adalah sebagian kecil pelnggaran-pelanggaran hak buruh yang
di ungkapkan, padahal banyak ketentuan yang mengatur mengenai perlindungan bagi
buruh perempuan,baik dalam konvensi internasional maupun perturan
perundang-undangan Indonesia, yaitu antara lain;
Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination Againt Women yang telah diratifikasi dengan UU No.7 Tahun 1984(
CEDAW ),
ILO
Convention No. 183 Year 2000 on Materniti Protection (Konvesi ILO mengenai
Perlindungan Maternal) UU No. 13
Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjan)
UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
(UU HAM), UU No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan (UU
Kesehatan).
Dalam regulasi
yang ada sebetulnya mempertegas bahwa kewajiban pemerintah mensejahterakan
rakyatnya, dan setiap warga Negara berhak atas pekerjan dan kehidupan yang
layak Seperti yang di amanatkan dalam
UUD 1945 ps 28 ”Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja” dan memberikan perlindungan
bagi seluruh warganya, akan tetapi penerapan aturan yang ada masih jauh dari
yang seharusnya Buruh masih mendapatkan upah yang tidak manusiawi….. Disamping
itu karena minimnya pengawasan dari pemerintah dalam hal ini Dinas TenagaKerja,
dan kurangnya peran pemerintah memfasilitasi kepentingan Buruh, Hak – hak
buruh masih belum terlindungi baik dalam hal upah layak, hak jaminan
social, hak tunjangan, hak waktu istirahat dan cuti, Hak uang lembur , bahkan
hak maternal (reproduksi) sehingga untuk persoalan ini diperlukan adanya
keseriusan dari pemerintah menjalankan tugas dan fungsinya berdiri di tengah antara Pengusaha dan Buruh
dan mengoptimalkan aparat pengawas untuk memastikan peraturan perusahaan dan
perjanjian kerja bersama antara buruh dan perusahaan di setiap perusahan telah
ada, dan di jalankan sehingga Hak-hak buruh dapat terlindungi dan memberikan
sanksi yang tegas bagi perusahan yang melanggar baik itu sanksi adminitrasi,
pencabutan ijin atau bahkan pembekuan
usaha dan sanksi pidana bagi perusahan yang melanggar dan tidak memiliki
kesadaran mensejahterakan buruhnya.
Mensikapi hal
tersebut. PDI Perjuangan memperjuangkan agenda politik
untuk mewujudkan TRISAKTI yang tertuang
dalam Rapat Kerja Nasional ke-III yang telah di lakukan, dengan
merekomendasikan memperjuangkan hak-hak buruh diantaranya , yaitu PDI
Perjuangan menentang kebijakan politik yang memiskinkan kaum buruh dan pekerja
Indonesia. Mendesak dihapuskannya praktek tenaga kerja outsourcing (alih daya)
dan kontrak yang bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan; dan menolak politik
upah murah. Dengan mempertimbangkan upah
dilakukan survei berdasarkan komponen
hidup layak. Dan penghapusan Pungli.[Susane febriyati, SH/Pendiri Lembaga Pemberdayaan dan Penguatan Aspirasi Sosial (Lepas) dan juga Ketua Departemen Pemberdayaan
perempuan DPC PDIP Kab. Cianjur]***.
Comments0
Terima Kasih atas saran, masukan, dan komentar anda.