BSY0BSWiGSMpTpz9TUAoGfC7BY==

HERMENEUTIKA ALA HASSAN HANAFI DAN RELEVANSINYA DENGAN PANCASILA SEBAGAI SEBUAH IDEOLOGI

“Semua orang ingin hidup dibiayai oleh Negara. Mereka lupa, bahwa Negara hidup dari biaya semua orang” (Frederic Bastiat)

Hassan Hanafi dilahirkan di Kairo, Mesir pada 13 Februari 1935. Besar dari keluarga musisi yang pada akhirnya ia lebih memilih filsafat sebab di sana ia dapat menemukan pandangan-pandangan yang sangat apresiatif kepada dimensi estetis kehidupan. Pemberontakan pemikirannya yang paling santer adalah gerakan oksidentalisme sebagai bentuk perlawanan terhadap orientalisme Barat. Ia melihat bahwa sudah saatnya kaum agamawan memandang teks-teks Al-Qur’an sebagai sebuah “energi gerak” dalam konteks “tradisi dan modernisasi”. Tradisi adalah pijakan awal dari masalah kebudayaan rakyat, dan modernisasi adalah reinterpretasi tradisi tersebut agar sesuai dengan kebutuhan zaman. Masa lalu mendahului kekinian, otentisitas mendahului kemodernan, dan modernisasi adalah tujuan, yakni keikutsertaan dalam transformasi kehidupan (dengan) memberi solusi pada problem-problemnya. Demikian ia berpendapat.

Berangkat dari paradigma yang ia tawarkan, akan muncul dua pra anggapan dan pra paham yang sampai hari ini barangkali masih seperti itu. Bagi kalangan neorevivalis misalnya akan muncul semacam kekhawatiran yang ditimbulkan oleh modernis Islam, cenderung menyerukan kembali kepada Al-Qur’an sebagai sumber utama Islam, tapi sama sekali tidak atau belum memiliki metode penafsiran Al-Qur’an yang memadai dalam menjawab persoalan-persoalan sosial kebangsaan dalam konteks kekinian.

Hermeneutika berasal dari kata Yunani hermenuine dan hermenia yang masing-masing berarti “menafsirkan” dan “penafsiran”. Hermeneutika lebih banyak berurusan dengan pelbagai aturan, metode, dan teori yang berfungsi membimbing penafsir dalam kegiatan memberi pemahaman tentang sesuatu ketimbang perbincangan tentang teori penafsiran.

Lalu apa relevansinya dengan Pancasila sebagai sebuah ideologi?

Jika hermeneutika dipahami dalam pengertian metode, maka ia berisikan perbincangan teoritis tentang the conditions of possibility sebuah penafsiran, menyangkut hal-hal apa yang dibutuhkan atau prosedur bagaimana yang harus dipenuhi untuk menghindari pemahaman yang keliru terhadap teks. Maka Pancasila sebagai sebuah ideologi harus dimaknai sebagai kesadaran komunal terhadap konsensus the founding fathers seperti yang digambarkan Gadamer mempraanggapkan pengetahuan yang bersifat steril, bersih dari jejak kepentingan yang menindas. Pengetahuan seperti ini harus disingkap oleh refleksi kritis untuk membuktikan selubung ideologisnya. Jika kita sudah sepakat pada tataran ini, tinggal persoalannya kemudian adalah bagaimana mencari instrumen dan metodologi yang tepat guna dalam membumikan Pancasila sebagai sebuah ideologi.

Ibnu Khaldun dalam mukkadimahnya menyatakan, bahwa secara psikologis terdapat kecenderungan Negara terbelakang meniru apa saja yang datang dari negara yang dianggapnya lebih maju. Kemajuan dunia Barat telah menjadi kiblat peradaban dunia ketiga hampir dalam semua bidang, ekonomi, sosial, politik dan yang paling akut adalah dalam aspek budaya. Padahal, the founding fathers kita telah menegaskan bahwa Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia, bahkan konsep dasar Negara ini telah dipersiapkan tiga bulan sebelum teks proklamasi dibacakan pada tanggal 17 Agustus 1945 dalam sidang Dokuritsu Junbi Cosakai yang kemudian tujuannya adalah sebagai dasar atau ideologi negara. Tetapi seiring dengan perkembangan pemikiran dan peradaban manusia yang semakin kompleks, idologi Negara seolah sudah hilang dari denyut nadi kehidupan berbangsa dan bernegara, Indonesia.

Kegalauan ideologis diatas bahkan dipertegas oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH dalam salah satu bukunya “Menuju Negara Hukum yang Demokratis” (2009). Beliau menyatakan bahwa Pancasila terpinggirkan dari dinamika kehidupan nasional. Pancasila menjadi kesepian di tengah hiruk pikuknya kehidupan bangsa serta tidak mendapat perhatian secukupnya. Ia seperti terasing di tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia. Dasar Negara ini seperti tidak lagi dibutuhkan, baik dalam kehidupan formal-kenegaraan maupun kehidupan masyarakat sehari-hari.

Amandemen UUD 1945 merupakan salah satu tuntutan yang paling mendasar dari gerakan reformasi yang berujung pada runtuhnya kekuasaan Orde Baru pada tahun 1998. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat melihat faktor penyebab otoritarian Orde Baru pada saat itu tidak hanya pada manusia sebagai pelakunya, tetapi karena kelemahan sistem  hukum dan ketatanegaraan. Kelemahan dan ketidaksempurnaan UUD 1945 bahkan telah dinyatakan oleh Soekarno pada rapat pertama PPKI tanggal 18 Agustus 1945.

Perlu adanya reinterpretasi yang transformatif terhadap Pancasila dan UUD 1945 agar ideologi Pancasila bisa dirasakan eksistensinya di tengah berbagai masalah sosial sisa-sisa feodalisme dan kolonialisme yang menyertai proses pembangunan yang semakin hedon dan cenderung liberal sehingga Pancasila bisa menjadi ideologi pembebasan. Pembebasan dari hegemoni barat yang kapitalis-liberalis. Absurditas atau biasnya ideologi Pancasila bisa dilihat dari sistem ekonomi Indonesia yang sampai sekarang masih belum menemukan identitas aslinya sebagai bangsa yang berdaulat secara ekonomi. Apabila koperasi yang ditawarkan sebagai sistem ekonomi ala Indonesia, maka kita harus belajar jujur bahwa dalam prakteknya semakin banyak koperasi yang sudah keluar dari khittah-nya untuk selalu mengedepankan sikap gotong royong, saling membesarkan sesama anggota koperasi dan seterunya. Tetapi sekarang koperasi sudah berakulturasi menjadi semacam “lintah darat” yang  mencengkram leher masyarakat marjinal.

Jika Hassan Hanafi, Fazlur Rahman, Mohammed Arkoun berani melakukan kritik atas interpretasi terhadap teks-teks Al-Qur’an yang bersifat sakral dengan menggunakan pendekatan hermeneutika, maka bukan mustahil jika Pancasila yang profan juga dikembangkan seperangkat metodologi tafsir sosial atas Pancasila dengan pendirian teoritis yang sama sekali berbeda dengan apa yang sudah pernah diterapkan sebelumnya. Jika jaman Soeharto (baca: Orde Baru) menerapkan metodologi P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) sebagai instrumen internalisasi ideologi yang cukup efektif walaupun dengan menggunakan pendekatan metode yang cenderung otoriter, maka hari ini pun dibutuhkan seperangkat instrumen metodologi yang dapat menguatkan keyakinan bahwa Pancasila adalah sebagai sebuah ideologi, identitas dan ruh dalam setiap gerak kehidupan berbangsa dan bernegara.

Jika Hassan Hanafi kaitannya dengan hermeneutika Al-Qur’an yang lebih dekat dengan problem kemanusiaan, seperti kemiskinan, penindasan, dan ketidakadilan, dia menawarkan hermeneutika Al-Qur’an yang paradigmatik, bercorak sosial dan eksistensial. Maka Pancasila pun demikian, masih belum bisa menjawab persoalan kemanusiaan, persoalan ekonomi, dan ketidakadilan secara lebih massif dan aplikatif. Belum berlandaskan pada sebuah keyakinan sosiologis bahwa Pancasila, ideologi dan relevansinya dengan kehidupan sosial bisa menjadi ideologi pembebasan dari berbagai macam dekadensi moral, persoalan ekonomi, masalah sosial sisa-sisa feodalisme dan kolonialisme yang ending-nya, Pancasila kemudian menjadi bagian dari denyut nadi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Jika Marx bilang, secara implisit setiap pemikiran politik mengikuti sebuah ideologi walaupun tidak diletakkan sebagai sistem berpikir yang eksplisit. Oleh karena itu, jika Pancasila diposisikan sebagai basis ideologi maka harus dilakukan secara teoritik, filosofis, dan kritis. Dalam konteks melakukan kritik, maka lebih tepat jika digunakan kritik eidetis dan praksis.

Sebagai fakta sosiologis, masih adanya dikotomi antara ilmu yang bercorak Islam dan ilmu yang bersifat umum. Berbicara ekonomi, matematika, politik, science, seolah-olah bukan berbicara Islam, pemahaman keliru inilah disebabkan karena sistem pendidikan nasional yang masih membelah pola pendidikan dan pengajaran di lembaga-lembaga pendidikan formal, disamping masih kelirunya pemahaman tadi, juga karena metodologi yang disampaikan dari kaum agamawan dalam acara-acara keagamaan masih bercorak doktrinal belum sampai pada membangun dialektika seputar persoalan-persoalan ummat dan bangsa. Islam, sesungguhnya merupakan ajaran yang universal dan komprehensif, meliputi berbagai aspek, baik duniawi maupun ukhrawi.

Penulis hanya ingin mengajak khalayak untuk melakukan kritik dan pemberontakan pemikiran terhadap ideologi yang selama ini dianut. Dengan melakukan kritik metodologi penerapan ideologi Pancasila, agar bisa lepas dari belenggu dan hegemoni ideologi kapitalis-liberalis dalam sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, ekonomi, berbangsa dan bernegara. Yang selama ini dilakukan oleh pemerintah hanya sebatas sosialisasi empat pilar kebangsaan yang terdiri dari Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam hal ini, Jimly Asshiddiqie kembali mengkritik jika kegiatan sosialisasi tersebut diganti saja dengan kegiatan aspirasi masyarakat dan pengkajian. Dalam konteks pengkajian inilah, penulis mencoba memasuki ruang tersebut dengan menawarkan reinterpretasi metodologi Pancasila sebagai sebuah ideologi dengan menggunakan pendekatan eidetis dan praksis. Jika putusan MK dalam Amar Putusan Nomor 100/PUU-XI/2014 yang membatalkan frasa “Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara” dalam Pasal 34 ayat (3b) huruf a Undang-Undang Nomor 2 tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik terkait Pancasila Pilar Kebangsaan.

Maka yang menjadi pertanyaannya kemudian adalah, instrumen dan metodologi apa yang akan dipakai oleh pemerintah dalam membumikan Pancasila? Jika komunis Tiongkok dulu mempunyai “buku saku merah”, jika Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) mempunyai Nilai Dasar Perjuangan (NDP) sebagai landasan ideologisnya. Maka bagaimana dengan Pancasila?
Wallaahu ‘alam bishowab

Comments0

Terima Kasih atas saran, masukan, dan komentar anda.

Type above and press Enter to search.