CIANJUR, [KC].- Pelaksanaan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) atau Masa Orientasi Siswa (MOS) bagi siswa baru baik di tingkat SMA/SMK/Sederajat maupun untuk SMP/Sederajat harus mendapatkan pengawasan dari berbagai kalangan terutama Dinas Pendidikan. Karena tidak menutup kemungkinan pelaksanaan MPLS atau MOS itu masih dijadikan ajang perpeloncoan atau balas dendam.
Demikian ditegaskan Ketua Komisi IV DPRD Kabupaten Cianjur, H. Sapturo. PihaknyaMPLS alias MOS itu, pasalnya tidak menutup kemungkinan kegiatan tersebut dijadikan ajang balas dendam."Seperti sudah menjadi tradisi, meski tradisi itu salah dan namanya juga berubah-ubah, tapi tetap saja kegiatannya tidak jauh beda dan cenderung sama. Seperti setiap siswa baru diharuskan mengenakan atribut aneh agar terlihat lucu di hadapan seniornya. Apakah ini dirasakan banyak manfaatnya?," kata Ketua Komis IV DPRD Cianjur, H. Sapyuro, Minggu, (26/7/2015).
Dikatakan politisi dari Partai Golkar itu, kegiatanseperti halnya mengenakan pakaian yang aneh-aneh dihadapan seniprnya harus mulai dorubah dengan kegiatan yang lebih mendidik. Kalau seperti itu tetap dibiarkan dikawatirkan akan menjadi ajang balas dendam dikemudian hari.
"Rasa dendam itu pasti ada saat diberlakukan seperti itu. Jika sudah menjadi senior hal serupa yang menimpanya akan dilakukan kepada adik kelasnya. Padahal di negara maju kegiatan masa orientasi siswa seperti itu tidak pernah terjadi," tegas Sapturo.
Sapturo berpendapat bahwa pada masa orientasi siswa bagi siswa baru itu sebaiknya diisi dengan memberikan pengentahuan tentang sekolah, mulai dari sejarah, prestasi, pengenalan guru, dan ekskul yang ada. "Atau bisa dilakukan dengan pemberian materi permainan yang bisa lebih mengasah kemampuan dan kebersamaan. Atau mereka dipersilahkan menunjukan kreatifitas yang bisa disuguhkan dan menghibur. Sebab dengan adanya perpeloncoan dari senior malah membuat rasa dendam terbangun, bukannya rasa hormat," katanya.
Tidak hanya di jenjang SMP, SMA/SMK/Sederjat yang harus dipantau, tapi pada jenjang perguruan tinggi harus juga dilakukan pengawasan. Sebab kegiatan ospek di perguruan tinggi kerap kali lebih ekstrim. Kontak fisik pun terkadang malah terjadi. "Sudah barang tentu cara-cara seperti itu harus dihilangkan, dampaknya tidak baik," tegasnya.
Untuk itulah kata Sapturo, tidak hanya Dinas Pendidikan yang harus mengawasi, pihak sekolah dan perguruan tinggi juga harus teibat dan bersikap bijak dalam mengawasi siswa dan mahasiswa yang menjadi panitia dalam kegiatan itu. Karena pihak sekolah maupun perguruan tinggi sudah barang tentu harus mengetahui kegiatan yang dilakukan.
"Tentu harus dipilah mana yang diperbolehkan dan yang tidak. Kedisiplinan dan rasa hormat bisa ditanamkan dengan cara lain. Bukannya dengan perkataan yang kasar atau aktivitas yang malah mempermalukan orang lain. Sekarang itu sudah saat hal yang berbau kekerasan ditinggalkan dan mengedepankan hal-hal yang mendidik," ungkapnya.
Kepala SMK Al Ittihad Anton Musa, sependapat dengan Komisi IV DPRD Cianjur. Disekolah yang dipimpinnya dalam MPLS atau MOS sangat menjauhkan dari tindakan yang bisa mengarah menjadi ajang balas dendam. MPLS lebih ditekankan kepada para siswa untuk mengenal lingkungan sekolahnya.
"Kita tidak ada praktek perploncoan itu, MPLS kita lakukan lebih memperkenlkan siswa kepada lingkungan sekolah dan pesantren. Bagaimana siswa bisa lebih mengerti kebiasaan dilingkungan sekolah maupun pesantren sehingga siswa itu nantinya benar-benar siap saat akan mengikuti kegiatan belajar mengajar yang sesungguhnya," kata Anton Musa saat ditemui terpisah.
Bahkan kata Anton, disekolahnya memberikan kesempatan khusus kepada para siswa barunya untuk unjuk kabisa pada akhir masa MPLS. "Kita siapkan panggung khusus, anak bebas menunjukkan kreatifitasnya atau kemampuanya. Ini satu bukti bahwa kita menghargai kemampuan anak. Kalaupun anak dalam MPLS mengenakan tas yang tidak biasa, itupun isinya seputar buku dan data-data mereka saja," tegasnya [KC-02]**
Demikian ditegaskan Ketua Komisi IV DPRD Kabupaten Cianjur, H. Sapturo. PihaknyaMPLS alias MOS itu, pasalnya tidak menutup kemungkinan kegiatan tersebut dijadikan ajang balas dendam."Seperti sudah menjadi tradisi, meski tradisi itu salah dan namanya juga berubah-ubah, tapi tetap saja kegiatannya tidak jauh beda dan cenderung sama. Seperti setiap siswa baru diharuskan mengenakan atribut aneh agar terlihat lucu di hadapan seniornya. Apakah ini dirasakan banyak manfaatnya?," kata Ketua Komis IV DPRD Cianjur, H. Sapyuro, Minggu, (26/7/2015).
Dikatakan politisi dari Partai Golkar itu, kegiatanseperti halnya mengenakan pakaian yang aneh-aneh dihadapan seniprnya harus mulai dorubah dengan kegiatan yang lebih mendidik. Kalau seperti itu tetap dibiarkan dikawatirkan akan menjadi ajang balas dendam dikemudian hari.
"Rasa dendam itu pasti ada saat diberlakukan seperti itu. Jika sudah menjadi senior hal serupa yang menimpanya akan dilakukan kepada adik kelasnya. Padahal di negara maju kegiatan masa orientasi siswa seperti itu tidak pernah terjadi," tegas Sapturo.
Sapturo berpendapat bahwa pada masa orientasi siswa bagi siswa baru itu sebaiknya diisi dengan memberikan pengentahuan tentang sekolah, mulai dari sejarah, prestasi, pengenalan guru, dan ekskul yang ada. "Atau bisa dilakukan dengan pemberian materi permainan yang bisa lebih mengasah kemampuan dan kebersamaan. Atau mereka dipersilahkan menunjukan kreatifitas yang bisa disuguhkan dan menghibur. Sebab dengan adanya perpeloncoan dari senior malah membuat rasa dendam terbangun, bukannya rasa hormat," katanya.
Tidak hanya di jenjang SMP, SMA/SMK/Sederjat yang harus dipantau, tapi pada jenjang perguruan tinggi harus juga dilakukan pengawasan. Sebab kegiatan ospek di perguruan tinggi kerap kali lebih ekstrim. Kontak fisik pun terkadang malah terjadi. "Sudah barang tentu cara-cara seperti itu harus dihilangkan, dampaknya tidak baik," tegasnya.
Untuk itulah kata Sapturo, tidak hanya Dinas Pendidikan yang harus mengawasi, pihak sekolah dan perguruan tinggi juga harus teibat dan bersikap bijak dalam mengawasi siswa dan mahasiswa yang menjadi panitia dalam kegiatan itu. Karena pihak sekolah maupun perguruan tinggi sudah barang tentu harus mengetahui kegiatan yang dilakukan.
"Tentu harus dipilah mana yang diperbolehkan dan yang tidak. Kedisiplinan dan rasa hormat bisa ditanamkan dengan cara lain. Bukannya dengan perkataan yang kasar atau aktivitas yang malah mempermalukan orang lain. Sekarang itu sudah saat hal yang berbau kekerasan ditinggalkan dan mengedepankan hal-hal yang mendidik," ungkapnya.
Kepala SMK Al Ittihad Anton Musa, sependapat dengan Komisi IV DPRD Cianjur. Disekolah yang dipimpinnya dalam MPLS atau MOS sangat menjauhkan dari tindakan yang bisa mengarah menjadi ajang balas dendam. MPLS lebih ditekankan kepada para siswa untuk mengenal lingkungan sekolahnya.
"Kita tidak ada praktek perploncoan itu, MPLS kita lakukan lebih memperkenlkan siswa kepada lingkungan sekolah dan pesantren. Bagaimana siswa bisa lebih mengerti kebiasaan dilingkungan sekolah maupun pesantren sehingga siswa itu nantinya benar-benar siap saat akan mengikuti kegiatan belajar mengajar yang sesungguhnya," kata Anton Musa saat ditemui terpisah.
Bahkan kata Anton, disekolahnya memberikan kesempatan khusus kepada para siswa barunya untuk unjuk kabisa pada akhir masa MPLS. "Kita siapkan panggung khusus, anak bebas menunjukkan kreatifitasnya atau kemampuanya. Ini satu bukti bahwa kita menghargai kemampuan anak. Kalaupun anak dalam MPLS mengenakan tas yang tidak biasa, itupun isinya seputar buku dan data-data mereka saja," tegasnya [KC-02]**
Comments0
Terima Kasih atas saran, masukan, dan komentar anda.