CIANJUR, [KC].- Puluhan petani pemetik pucuk teh Perkebunan Teh Pasir Sarongge di
Desa Ciputri Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur dalam beberapa pekan
terakhir terpaksa harus beralih profesi menjadi tukang pemburu ulat. Hal
itu dilakukan menyusul diserangnya lahan perkebunan teh tersebut oleh
ulat yang merusak daun-daun pucuk teh.
Kaur
Pembangunan Desa Ciputri Hasanudin menjelaskan, sejak kekeringan
melanda kawasan Pacet dan sekitarnya, hama ulat terus merusak tanaman
teh yang ada di perkebunan Pasir Sarongge. Akibatnya daun teh yang
biasanya dipetik oleh para buruh, kini hilang dari pohonnya. Bahkan
ranting-ranting pohon teh terlihat seperti mengering lantaran tidak ada
daunnya.
"Serangan
hama ulat ini masih terus meluas, sehingga para buruh beralih pekerjaan
dengan memburu hama ulat. Kita tidak tahu sampai kapan hal itu akan
terjadi," kata Hasanudin..
Menurutnya,
penanganan hama itu sudah dilakukan beberapa cara dengan obat anti
hama. Namun hasilnya belum maksimal. Untuk itu para buruh terpaksa
memburu langsung hama ulat yang semakin menjamur.
"Kalau
dari hitungan bisnis, jelas perusahaan jelas rugi karena tidak bisa
dipanen. Akhirnya, masyarakat beralih pekerjaan mencari hama ulat dengan
dibayar Rp 25 ribu per kilogramnya," katanya.
Menurutnya,
meskipun lahan perkebunan gagal panen pengamanan tetap dilakukan
security, bahkan lebih diperketat. Pasalnya, dikhawatirkan masyarakat
yang tidak bertanggungjawab merambah lahan perkebunan teh.
"Malam
hari dijaga 6 orang dan siang hari dijaga 6 orang. Pengamanan diketat,
karena dikhawatirkan masyarakat memanfaatkan ranting kebun teh untuk
kayu bakar," paparnya.
Dijelaskannya,
serangan hama ulat itu sudah berjalan selama empat bulan berjalan namun
kondisinya kini semakin parah. Bahkan, jika dilihat lebih parah tahun
ini ketimbang tahun sebelumnya.
"Kami
hanya bisa berharap kondisinya bisa normal kembali, karena sekitar 70
orang warga kami mengandalkan pekerjaan menjadi buruh perkebunan teh,"
pungkasnya.
Seorang
buruh, Siti (41) warga Desa Ciputri mengaku sejak kekeringan panjang
melanda kawasan Ciputri, dirinya terpaksa berburu ulat. Hal yang sama
juga dilakukan oleh para buruh lainnya. Hanya saja pendapatan berburu
ulat tidak sebanding dengan menjadi pemetik.
"Namun
jelas uang yang di dapatkan jelas lebih kecil dari pada kondisi normal.
Lantaran berburu ulat itu sulit, tidaklah mudah. Harus bisa lebih jeli
dan telaten menangkap ulat," katanya.
Pihaknya
sangat mengharapkan kondisinya bisa normal kembali. Pasalnya, jika
tersebut seperti ini dirinya dan warga lainnya terus merugi. "Kami
berharap bisa seperti biasa lagi, kami bisa bekerja lagi menjadi buruh
pemetik teh, bukan pemetik ulat," harapnya [KC-02/fr]**
Comments0
Terima Kasih atas saran, masukan, dan komentar anda.