Oleh:
Herlan Firmansyah
(Ketua Umum Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) PD Cianjur,
Sekum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orda Cianjur)
Menurut data yang dipublikasikan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bahwa hingga saat ini di Indonesia sudah terdapat 12 Bank Umum Syariah (BUS), 22 Unit Usaha Syariah (UUS), dan 161 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Namun demikian, dari semua perbankan syariah tersebut, khususnya BUS, belum ada BUS yang modal intinya di atas 5 triliun, 2 BUS terbesar modal intinya hanya mencapai 2 triliun.
Masih rendahnya permodalan perbankan syariah tersebut tentu melahirkan multiflier effect terhadap akselerasi perkembangannya. Tidak heran jika market share perbankan syariah terhadap perbankan nasional baru mencapai kisaran 4,8 %. Selain itu, rendahnya permodalan melahirkan beberapa kendala internal bagi perbankan syariah dalam mengembangkan infrastruktur, kantor cabang, mengembangkan segmen layanan, meningkatkan efisiensi operasionalnya, posisi tawar terkait dengan competitive advantage harga dan plihan produknya, serta daya saing perbankan syariah terhadap industri perbankan konvensional.
Untuk mengikis permasalahan permodalan tersebut, maka diperlukan upaya kolektif dari stakeholder perbankan syariah. Secara internal, para pimpinan perbankan syariah perlu melakukan upaya diferensiasi produk yang lebih produktif, kreatif, dan responsif sehingga semakin banyak pilihan produk yang dapat diakses masyarakat untuk menyimpan dan melakukan pembiayaan di perbankan syariah. Selain itu, perbaikan terus menerus dari sisi Standar Operasional Manajemen (SOM) dan Standar Operasional Prosedur (SOP) menjadi keniscayaan, karena tidak bisa dipungkiri, perbankan konvensional yang sudah terlebih dahulu eksis dan berjaya sudah memiliki SOM dan SOP yang mapan dan bereputasi baik di mata masyarakat. Perbaikan performance layanan yang dilakukan para karyawan perbankan syariah juga menjadi pekerjaan rumah tersendiri, jangan sampai masyarakat tidak merasakan aura yang berbeda ketika datang ke perbankan syariah dan ke perbankan konvensional. Para karyawan perbankan syariah mesti memiliki komitmen bahwa kerja di bank syariah bukan sekedar kerja, tapi sekaligus juga dakwah tentang kontekstualisasi ajaran Islam dalam membangun tatanan ekonomi masyarakat.
Dari sisi masyarakat, perlu adanya upaya peningkatan komitmen bahwa perbankan syariah adalah pilihan bukan alternatif. Masyarakat perlu melihat perbankan syariah sebagai salah satu pranata ekonomi syariah secara inklusif, bukan secara eklusif. Ekonomi syariah adalah bagian integral dari muamalah dan muamalah merupakan bagian integral dari syariah Islam, sehingga barang siapa yang memilih Islam sebagai agamanya, maka ia mesti menjadikan syariah Islam sebagai jalan hidupnya yang didalamnya terdapat ekonomi syariah (kaidah iqtishad). Dengan demikian, menjadi keniscayaan bagi ummat Islam untuk menjadikan perbankan Syariah sebagai pilihan pasti. Jika hal ini terjadi, maka kontribusi ummat untuk mendorong peningkatan permodalan perbankan syariah bisa meningkat dan industri perbankan syariah bisa berkembang lebih cepat sehingga ummat semakin jauh dari produk-produk yang mengandung unsur maisir, gharar, dan riba (MAGHRIB).
Agar masyarakat memiliki komitmen terhadap pertumbuhan perbankan syariah dan melihat perbankan syariah secara inklusif, maka peran ulama, tokoh masyarakat, ormas Islam seperti MUI, NU, Muhammadiyah, Persis, PUI, Matlahul Anwar, Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) sangat diperlukan untuk secara aktif melakukan sosialisasi dan edukasi. Ceramah-ceramah keagamaan di podium dakwah mesti diperluas bukan saja mengkaji fiqih ibadah, tetapi juga fiqih muamalah dan fiqh iqtishad, bahkan fiqih perbankan syariah.
Selain masalah permodalan, masalah ketersediaan Sumber Daya Insani (SDI) yang memiliki kompetensi bidang perbankan syariah dan memiliki performance serta karakteristik sesuai dengan prinsip-prinsip syariah masih minim. Tidak bisa dipungkiri bahwa SDI perbankan syariah dewasa ini mayoritas merupakan “imigran” dari perbankan konvensional yang memiliki disparitas dari sisi karakteristik dan tuntutan kompetensi. Tidak heran jika masyarakat mempersepsikan bahwa performance SDI perbankan syariah dewasa ini perbedaanya sangat tipis dengan performance SDI perbankan konvensional. Hal itulah yang menjadi salah satu apologi masyarakat untuk membuat hipotesa negatif bahwa perbankan syariah sama saja dengan perbankan konvensional.
Peran lembaga pendidikan tinggi dalam hal ini sangat strategis untuk dapat melahirkan SDI yang memiliki kompetensi bidang perbankan syariah dengan segala karakteristiknya yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Bahkan lembaga pendidikan dasar dan menengah dapat ikut berkontribusi secara aktif dengan memasukan ekonomi syariah ke dalam racikan kurikulumnya, baik sebagai bagian dari program intrakurikuler, cokurikuler, maupun ekstrakurikuler.
Comments0
Terima Kasih atas saran, masukan, dan komentar anda.