BSY0BSWiGSMpTpz9TUAoGfC7BY==

URGENSI REFORMASI PERADILAN INDONESIA


Oleh : Ispan Diar Fauzi
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Suryakancana

Sederet kasus yang melibatkan aparat penegak hukum, menjadi potret hitam dunia hukum di Indonesia. Perjuangan para ahli hukum yang menginginkan adanya perubahan paradigma cara berhukum, dinegasikan oleh tangan-tangan kotor oknum penegak hukum yang notabene mereka mengerti hukum. Alih-alih menjadi pencerah dan penegak keadilan tapi justru merekalah yang merusak nilai-nilai hukum dan keadilan itu sendiri.
Lembaga penegak hukum yang kembali menjadi sorotan kali ini adalah lembaga peradilan, hal tersebut tak lepas dari hasil release yang dikeluarkan oleh Ombudsman Republik Indonesia, yang menyatakan bahwa pada tiga tahun terakhir Ombudsman menerima laporan sejumlah 394, khusus untuk tahun 2016 sampai pada tanggal 31 maret Ombudsman menerima laporan sebanyak 68 untuk pengadilan negeri, dan pengadilan negeri merupakan lembaga yang paling banyak dikeluhkan oleh masyarakat.
Hal-hal yang dikeluhkan oleh masyarakat antara lain, pelaksanaan eksekusi putusan, dugaan maladministrasi, tidak kompeten dalam melaksanakan kinerja dalam sistem peradilan, putusan yang tidak mencerminkan rasa keadilan, hingga tumbuh suburnya mafia peradilan.
Modus-modus mafia peradilan memang semakin canggih, mereka tidak akan kehabisan cara untuk meloloskan niat-niat busuknya demi kepentingan pribadi dan kelompoknya. Hukum dijadikan komoditi ekonomi untuk meraup sebesar-besarnya keuntungan. Mereka para mafia peradilan adalah orang-orang yang pintar dan mengerti hukum, tapi kepintarannya hanya sebatas utopia belaka, yang terbersit oleh mereka hanya benefit dan dagang-dagang kasus di pengadilan.
Ironis memang, pengadilan sebagai benteng terakhir bagi masyarakat untuk mencari keadilan, tapi pada kenyataannya ditumpangi oleh mereka para mafia yang hanya ingin kekayaan semata, tanpa menaruh simpati kepada masyarakat yang ingin mencari keadilan dan kepastian.
Not the gun but man behind the gun, memang kita tidak dibenarkan menyalahkan peradilan sebagai proses dan pengadilan sebagai lembaga, karena pada hakikatnya mereka tidak berdosa, tapi merekalah para oknum penegak hukum dan merekalah para mafia peradilan yang membuat marwah pengadilan terseok-seok seakan-akan bukan lagi lembaga penegak keadilan, tetapi lembaga dimana tempat suburnya praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Maka jangan salahkan masyarakat, ketika skeptisisme muncul dan bahkan ketidakpercayaan mereka kepada lembaga  peradilan. Selama praktek kotor di pengadilan masih terjadi maka selama itu pula masyarakat akan memandang bahwa pengadilan bukanlah lembaga  penegak keadilan tetapi menjadi lembaga perusak keadilan (contempt of justice).
Kita semua tentu mengingingkan praktek-praktek kotor, praktek mafia peradilan, jual beli kasus di pengadilan segera berakhir, sehingga the principle of judicial independence (independensi peradilan) dan the principle of judicial impartiality (ketidak berpihakan  peradilan) dapat di implementasikan dalam setiap penyelesaian perkara.
Melihat realita-realita yang terjadi, maka reformasi adalah opsi yang paling tepat untuk mewujudkan independensi dan ketidak berpihakan peradilan. Perubahan, moral, mindset, dan perilaku koruptif para penegak hukum adalah hal yang utama yang harus dibenahi.
Hal tersebut dapat dimulai dengan melakukan tindakan Self Concept yaitu mengatur diri sendiri dengan memberikan keyakinan bahwa setiap tindakan melawan hukum adalah perbuatan yang tidak dibenarkan. Setelah terbiasa dengan melakukan Self Concept, dengan sendirinya akan mampu melakukan kontrol diri (Self Control), sehingga mampu mengontrol diri sendiri untuk terus melakukan tindakan yang dibenarkan menurut hukum.
Dengan terus melakukan Self Concept dan Self Control maka dengan sendirinya akan timbul Social Control dimana masyarakat yang tinggal dan hidup disekitar akan mengikuti dan terus menyebar ke masyarakat yang lain.
Dengan cara-cara tersebutlah diharapkan dapat merubah moralitas dan perilaku-perilaku koruptif para oknum penegak hukum, sehingga dengan memperbaiki moralitas dan perilaku penegak hukum, dapat terwujud peradilan yang bebas, independen, tidak memihak, dan tentunya sebagai lembaga penegak keadilan bukan lembaga perusak keadilan.

Quid leges sine moribus, hukum tidak berarti apa-apa tanpa moralitas.

Comments0

Terima Kasih atas saran, masukan, dan komentar anda.

Type above and press Enter to search.