“Carilah
apa yang telah Allah anugerahkan kepadamu untuk kehidupan akhirat kelak, namun
jangan lupakan juga bagianmu dari dunia, dan berbuat baiklah sebagaimana Allah
telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (Q.S.
Al-Qashash: 77).
Penggalan ayat
al-Qur’an di atas mengingatkan kepada kita semua tentang prinsip keseimbangan
hidup menurut Islam, yakni prinsip hidup yang sama-sama mementingkan praktek
‘ubudiah (peribadatan) di satu sisi dan mu’amalah (pergaulan) di sisi lain.
Praktek yang pertama dalam ayat di atas berorientasi “untuk kehidupan akhirat”,
sedangkan yang berikutnya merupakan “bagianmu dari dunia”. Dalam kerangka
keseimbangan ini, maka di samping beribadah kepada Allah, kita juga dituntut
untuk turut ambil bagian dalam merajut kehidupan dunia menjadi lebih baik. Dari
ayat ini pula diperoleh pemahaman bahwa kehidupan dunia dan akhirat itu berada
dalam satu garis kontinum (terusan) dimana setiap ritus ibadah yang dilakukan
itu seyogianya memantulkan pesona kesholehan perilaku dalam bermasyarakat.
Prinsip keseimbangan
ini sebenarnya dapat juga ditelusuri jejaknya pada makna esoteris dua kalimat
syahadat (syahadatain). Syahadat yang pertama, asyhadu an la ilaha illa Allah
merupakan deklarasi agar sikap dan tindak yang dilakukan itu diorientasikan
vertikal atau tegak lurus kepada Allah (hablun min Allah). Sedangkan syahadat
yang kedua, asyhadu anna muhammadan rasulullah mendeklarasikan pentingnya
orientasi horizontal atau orientasi hidup yang mempertimbangkan kemaslahatan
manusia (hablun min al-nas) sebagai titik bidik dalam berperilaku.
Disandingkannya Allah sebagai Khaliq dan Muhammad sebagai makhluq-Nya dalam dua
kalimat syahadat di atas tidak lain untuk menegaskan betapa pentingnya dua
orientasi ini dalam kehidupan setiap insan.
Sering
kita dengar dari kalangan Muslim, orang yang
mempertentangkan antara kesalehan individual dan kesalehan sosial. Mereka memisahkan secara dikotomis antara dua bentuk kesalehan ini. Seolah-olah
dalam Islam memang ada dua macam kesalehan: “kesalehan individual/ ritual” dan
“kesalehan sosial”. Dalam kenyataannya, kita juga melihat masih terdapat ketimpangan
yang tajam antara kesalehan individual dan kesalehan sosial. Banyak orang yang
saleh secara individual, namun tidak atau kurang saleh secara sosial.
Kesalehan individual
kadang disebut juga dengan kesalehan ritual, kenapa? Karena lebih menekankan dan mementingkan pelaksanaan ibadah ritual, seperti shalat, puasa, zakat,
haji, zikir, dst. Disebut kesalehan individual karena hanya mementingkan ibadah
yang semata-mata berhubungan dengan Tuhan dan kepentingan diri sendiri.
Sementara pada saat yang sama mereka tidak memiliki kepekaan sosial, dan kurang
menerapkan nilai-nilai islami dalam kehidupan bermasyarakat. Pendek kata, kesalehan jenis ini ditentukan
berdasarkan ukuran serba formal, yang
hanya hanya mementingkan hablum minallah, tidak disertai hablum minan nas.
Dalam Islam, sebenarnya
kedua corak kesalehan itu merupakan suatu kemestian yang tak usah ditawar.
Keduanya harus dimiliki seorang Muslim, baik kesalehan individual maupun
kesalehan sosial. Agama mengajarkan “Udkhuluu fis silmi kaffah !” bahwa
kesalehan dalam Islam mestilah secara total !”. Ya shaleh secara
individual/ritual juga saleh secara sosial. Karena ibadah ritual selain
bertujuan pengabdian diri pada Allah juga bertujuan membentuk kepribadian yang
islami sehingga punya dampak positif terhadap kehidupan sosial, atau hubungan
sesama manusia.
Karena itu, kriteria
kesalehan seseorang tidak hanya diukur dari seperti ibadah ritualnya shalat dan
puasanyanya, tetapi juga dilihat dari output sosialnya/ nilai-nilai dan
perilaku sosialnya: berupa kasih sayang pada sesama, sikap demokratis,
menghargai hak orang lain, cinta kasih, penuh kesantunan, harmonis dengan orang lain, memberi dan membantu
sesama.
Saya pikir ketika soleh
ritual dan sosial sudah melekat pada suatu masyarakat muslim, ini sangat erat
kaitannya dengan terwujudnya masyarakat madani.
Masyarakat
Madani (dalam bahasa Inggris: civil
society) dapat diartikan sebagai suatu masyarakat yang beradab dalam
membangun, menjalani, dan memaknai kehidupannya. Istilah
masyarakat madani adalah terjemahan dari civil atau civilized society, yang
berarti masyarakat yang berperadaban.
Istilah
masyarakat madani selain mengacu pada konsep civil society, juga berdasarkan
pada konsep negara-kota Madinah yang dibangun Nabi Muhammad SAW pada tahun 622
M, yang telah membawa keberadaban terhadap masyarakat yang tadinya jahiliyah
kepada masyarakat yang maju dan bermoral.
Kolerasinya
dengan realitas modernitas hari ini tentu pemahaman madani ini mampu untuk
dikembangkan dengan konsep negara berdemokrasi seperti negara Indonesia kita
ini, untuk mengukur dalam hal partisipasi masyarakat Indonesia dalam membangun
negara yang religius, demokrasi, humanis dan menyesuaikan dalam keberadaban
modernitas ini.
Comments0
Terima Kasih atas saran, masukan, dan komentar anda.