Ditulis oleh : Paisal
Anwari, KABID PAO HMI Cabang Cianjur sekaligus sebagai Mahasiswa Pasca Sarjana HUKUM UNSUR
Politik dinasti
belakangan ini terus menjadi perbincangan hangat dikalangan masyarakat di Jawa
Barat dan terkhusus kabupaten cianjur. Selain didasari oleh lahirnya regulasi
di pilkada yang memberikan batasan kepada anak, saudara, dan istri kepala
daerah untuk berkompetisi di pilkada.
Proses gugatan para
putra dan keluarga kepala daerah terkait pasal dinasti yang saat ini masih
berproses di Mahkamah Konstitusi (MK), terus menjadikan pembahasan soal dinasti
politik selalu menarik untuk menjadi pembahasan.
Praktik politik dinasti
sepanjang era reformasi benar-benar menggejala. untuk kali kesekian publik
disuguhi praktik politik dinasti.
Politik dinasti dapat
diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik
yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan
keluarga. Dinasti politik lebih indenik dengan kerajaan. sebab kekuasaan akan diwariskan
secara turun temurun dari ayah kepada anak. agar kekuasaan akan tetap berada di
lingkaran keluarga. Apa Yang terjadi seandainya Negara Atau Daeah Menggunakan
Politik Dinasti?
Politik kekerabatan itu
sebagai gejala neopatrimonialistik. Benihnya sudah lama berakar secara
tradisional. Yakni berupa sistem patrimonial, yang mengutamakan regenerasi
politik berdasarkan ikatan genealogis, ketimbang merit system, dalam menimbang
prestasi. Menurutnya, kini disebut neopatrimonial, karena ada unsur patrimonial
lama, tapi dengan strategi baru. "Dulu pewarisan ditunjuk langsung,
sekarang lewat jalur politik prosedural." Anak atau keluarga para elite
masuk institusi yang disiapkan, yaitu partai politik. Oleh karena itu,
patrimonialistik ini terselubung oleh jalur prosedural
Dinasti
politik harus dilarang dengan tegas, karena jika makin maraknya praktek ini di
berbagai pilkada dan pemilu legislatif, maka proses rekrutmen dan kaderisasi di
partai politik tidak berjalan atau macet. Jika kuasa para dinasti di sejumlah daerah
bertambah besar, maka akan kian marak korupsi sumber daya alam dan lingkungan,
kebocoran sumber-sumber pendapatan daerah, serta penyalahgunaan APBD dan APBN.
Hal-Hal
Yang Mengakibatkan Munculnya Dinasti Politik Adalah:
1.
Adanya keinginan Dalam diri atau pun
keluarga untuk memegang kekuasaan.
2.
Adanya kelompok terorganisir karena
kesepakatan dan kebersamaan Dalam kelompok sehingga terbentuklah penguasa
kelompok dan pengikut kelompok.
3.
Adanya kolaborasi antara penguasa dan
Pengusaha untuk mengabungkan kekuatan modal dengan kekuatan Politisi.
4.
Adanya Pembagian tugas antara kekuasaan
politik dengan kekuasaaan Modal Sehingga Mengakibatkan terjadinya KORUPSI
Akibat
Dari Politik Dinasti ini maka banyak pemimpin lokal menjadi politisi yang
mempunyai pengaruh. Sehingga semua keluarga termasuk anak dan istri
berbondong-bondong untuk dapat terlibat dalam system pemerintahan.
Dengan
Politik Dinasti membuat orang yang tidak kompeten memiliki kekuasaan. Tapi hal
sebaliknya pun bisa terjadi, dimana orang yang kompeten menjadi tidak dipakai
karena alasan bukan keluarga. Di samping itu, cita-cita kenegaraan menjadi
tidak terealisasikan karena pemimpin atau pejabat negara tidak mempunyai kapabilitas
dalam menjalankan tugas.
Demokrasi
adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara
dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi
mengizinkan warga negara berpartisipasi—baik secara langsung atau melalui
perwakilan—dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Demokrasi mencakup
kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan
politik secara bebas dan setara.
Kata
ini berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία
(dēmokratía) "kekuasaan rakyat" yang terbentuk dari δῆμος (dêmos)
"rakyat" dan κράτος (kratos)
"kekuatan" atau "kekuasaan" pada abad ke-5 SM untuk
menyebut sistem politik negara-kota Yunani, salah satunya Athena; kata ini
merupakan antonim dari ἀριστοκρατία (aristocratie)
"kekuasaan elit". Secara teoretis, kedua definisi tersebut saling
bertentangan, namun kenyataannya sudah tidak jelas lagi.
Pada
umumnya pengertian demokrasi adalah suatu format pemerintahan yang mana
masing-masing warga negara memiliki hak yang seimbang dan setara terkait
penentuan dan pemilihan sebuah keputusan yang nantinya akan membawa dampak pada
kehidupan warga negara.
Pengertian
demokrasi pula dapat dimaknai sebagai bentuk kekuasaan paling tinggi yang ada
ditangan rakyat.
Mengenai
demokrasi warga negara boleh ikut ambil bagian dengan langsung maupun pula
lewat perwakilan terkait melaksanakan perumusan, pengembangan dan penyusunan
hukum.
Maka
Dari itu Dinasti politik bukanlah sistem yang tepat unrtuk diterapkan di Negara
kita Indonesia, sebab negara Indonesia bukanlah negara dengan sistem
pemerintahan monarki yang memilih pemimpin berdasarkan garis keturunan.
Dinasti
politik berpotensi kuat menyuburkan budaya koruptif. Tapi pencegahan dinasti
politik dengan membuat aturan hukum yang dibat oleh Mahkamah Konstitusi, juga dengan
kerja-kerja politik untuk mencegah suburnya dinasti tersebut.
Politik
dinasti jelas bertentangan dengan budaya demokrasi yang sedang tumbuh di negeri
tercinta dan akan mengebiri demokrasi kita. Sebab, politik dinasti pasti
mengabaikan kompetensi dan rekam jejak. Bahkan, politik dinasti bisa mengebiri
peran masyarakat dalam menentukan pemimpin. Yang menyedihkan, politik dinasti
sengaja dibingkai dalam konteks demokrasi. Dalam alam demokrasi prosedural
sekarang, masyarakat seakan diberi peran.
Tetapi,
jika diamati secara saksama, jelas sekali masyarakat tidak memiliki kebebasan
menentukan pilihan. Hampir semua calon anggota legislatif, calon kepala daerah,
dan calon pejabat publik yang diajukan telah diskenario. Pemenangnya harus
orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan elite-penguasa. Jika tidak
memiliki hubungan kekeluargaan, calon yang dimenangkan adalah mereka yang
memberikan uang sebagai mahar jabatan.
Dalam
perspektif Ibn Khaldun (1332–1406), politik dinasti dinamakan ashabiyah (group
feeling). Ibn Khaldun dalam The Muqaddimah an Introduction to History (1998)
menyebut politik ashabiyah sebagai gejala yang bersifat alamiah. Sebab, umumnya
penguasa selalu ingin merekrut orang yang memiliki hubungan kekerabatan sebagai
bawahannya.
Namun,
Ibn Khaldun mengingatkan bahaya politik ashabiyah.Dengan tegas Ibn Khaldun
menyatakan bahwa politik ashabiyah pada saatnya bisa mengakibatkan kehancuran
negara. Dalam konteks budaya modern, praktik politik ashabiyah juga menjadi
persoalan serius. Apalagi jika politik ashabiyah dijalankan dalam suasana demokrasi
yang sedang tumbuh dan berkembang. Karena praktik politik dinasti sangat
berbahaya, pemerintah dan legislatif harus merumuskan regulasi yang tegas.
Modal
untuk membuat regulasi sejatinya sudah ada. Misalnya, larangan terhadap
seseorang menjadi kepala daerah lebih dari dua periode. Sayang, peraturan itu
disiasati beberapa kepala daerah yang tidak boleh mencalonkan diri karena sudah
menjabat dua periode. Caranya, mencalonkan orang-orang yang memiliki hubungan
kekerabatan dengan dirinya. Cara lainnya, mencalonkan orang-orang yang bisa
menjamin keamanan dirinya dari kasus hukum setelah tidak lagi berkuasa.
Bermula
dari budaya politik kekerabatan itulah, praktik politik dinasti semakin
menggurita. Idealnya, batasan maksimal dua periode juga berlaku untuk jabatan
di legislatif. Hal tersebut penting supaya publik tidak disuguhi caleg 4L (lu
lagi, lu lagi). Karena itu, pemerintah harus merancang regulasi tentang boleh
tidaknya kerabat dekat maju sebagai pejabat eksekutif dan legislatif. Peraturan
itu penting untuk meminimalkan budaya politik dinasti.
Praktik
politik dinasti pada saatnya akan mengganggu proses checks and balances
antarlembaga negara. Fungsi saling mengontrol pasti tidak bisa maksimal jika
sejumlah jabatan publik dikuasai satu keluarga besar. Padahal, untuk menyemai
nilai-nilai demokrasi, fungsi kontrol penting. Jika kontrol terhadap pemerintah
lemah, terjadilah budaya kolutif dan koruptif.
Comments0
Terima Kasih atas saran, masukan, dan komentar anda.