BSY0BSWiGSMpTpz9TUAoGfC7BY==

Apakah Islam Bertentangan Dengan Demokrasi..?

Tema  demokrasi  adalah  salah  satu  tema yang  sampai  saat  ini  masih  menarik  untuk didiskusikan.  Berbagai  karya  yang  mengulas tentang  demokrasi  telah  dihasilkan—baik  itu oleh  para  pemikir  Islam  maupun  Barat. Semenjak  kedatangan  bangsa Barat  ke dunia Islam,  dan  seiring  dengan  kemajuan  bangsa Barat saat ini, maka sesuatu yang datang dari Barat  selalu  dijadikan  indikator  simbol kemajuan.  Atas  klaim  itu  sehingga  banyak negara merasa penting  untuk “mencontoh”—baik  secara  langsung  atau  tidak—segala bentuk  kemajuan  yang  pernah  dicapai  oleh Barat—termasuk  di  dalamnya  tema demokrasi. Di kalangan para intelektual Islam terdapat perbedaan  pendapat  dalam  menanggapi permasalahan  demokrasi.  Apakah  konsep yang mulanya  warisan  Barat ini  dapat  sesuai dengan  Islam  dan  bisa  diterapkan  di  negara Islam?  Apakah  arti  demokrasi  itu  sendiri Perbincangan seputar tema demokrasi memang menarik, terlebih jika dikaitkan dengan doktrin agama dalam hal ini Islam. Maka berbagai pertanyaan pun menyeruak; apakah demokrasi mendapatkan tempat yang layak dalam Islam?; apakah pesan-pesan demokrasi  sesuai dengan  ajaran Islam?;  apakah Islam  sendiri mempunyai  aturan yang sama dengan demokrasi?; dan bagaimana respon para sarjana muslim terhadap isu demokrasi? Pertanyaan-pertanyaan ini-lah yang akan coba disajikan dalam tulisan yang singkat dan sederhana ini
Sebagian orang menganggap bahwa Islam (ajaran atau doktrin yang dikandungnya) punya kecocokan tersendiri dengan ideologi politik bernama demokrasi. Tapi, sebagian lainnya justru berpandangan berbeda, menyangkal kompatibilitas kedua entitas ini.
“Jawaban kita atas pertanyaan apakah Islam kompatibel dengan demokrasi sangat bergantung pada definisi kita tentang apa itu Islam dan apa itu demokrasi. Jika kita menganggap Islam sebagai sebuah agama dengan ajaran dan doktrin baku yang tidak bisa berubah, maka jawaban dari pertanyaan itu kemungkinan besar (akan) negatif.”
Tapi sebaliknya, , jika kita percaya bahwa Islam adalah agama yang dinamis, percaya bahwa salah satu pedoman hidup manusia ini memang terbuka atas tafsir dan pemahaman yang baru, maka sangat mungkin jawabannya akan positif. Alhasil, pernyataan bahwa jawaban atas pertanyaan itu bergantung erat kepada siapa kita mengajukannya di sini menjadi jelas. 
Terkait dengan kecocokan Islam dan demokrasi, Luthfi seorang Intelektual Muslim  kembali menjelaskannya melalui pernyataan yang saling menegasikan. Sejauh ajaran Islam itu mengandung hal-hal yang memang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi, maka kompatibilitas keduanya menjadi mungkin. Sebaliknya, jika tak mengandung hal-hal yang jadi syaratnya, maka Islam dan demokrasi tidak bisa dikatakan cocok.
Karenanya, menjadi penting untuk mengetahui terlebih dahulu apa itu demokrasi, yakni, nilai-nilai yang dikandungnya. Inilah yang kemudian akan menjadi rujukan dalam menemukan kompatibilitas demokrasi atas Islam.
Islam hadir dengan membawa prinsip-prinsip yang umum. Oleh karena itu, adalah tugas umatnya untuk memformulasikan program tersebut melalui interaksi antara prinsip-prinsip Islam dengan modernitas, termasuk demokrasi. Islam memberikan jaminan untuk dilakukannya ijtihad, penafsiran terhadap teks kitab suci dan Sunnah Rasul.
Secara normatif, demokrasi adalah suatu “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” (Abraham Lincoln). Secara empirik, demokrasi biasanya menggunakan sejumlah indikator antara lain:(1) kedaulatan rakyat, (2) pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah (rakyat), (3) kekuasaan mayoritas, (4) hak-hak minoritas, (5) jaminan hak-hak asasi manusia, (6) pemilihan yang bebas dan jujur, (7) persamaan di depan hukum, (8) proses hukum yang wajar, (9) pembatasan pemerintah secara konstitusional, (10) pluralisme sosial, ekonomi dan politik, dan (11) nilai-nilai toleransi, (12) pragmatisme, (13) kerjasama dan (14) mufakat.
Penjajaran Islam dengan demokrasi secara serta merta adalah merupakan cara pandang yang harus dikoreksi. Antara Islam dan demokrasi terdapat segi-segi persamaan dan perbedaan (Hasbi Ash-Shiddieqy). Jika Islam sampai pada konflik dengan postulatpostulat demokrasi tertentu, itu adalah karena karakter umumnya sebagai sebuah agama yang melibatkan asksioma yang suci (Hamid Enayat). Prinsip-prinsip permusyawaratan, keadilan, persamaan, kebebasn, pluralitas, adalah di antara prinsip yang kompatibel dengan Islam. Tidak ada rincian mengenai mekanisme yang mengatur muatan prinsip-prninsip tersebut, oleh karena itu terbuka peluang kepada manusia untuk mengaturnya, sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi.
KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) banyak menyuarakan pentingnya demokrasi di Indonesia serta merekonstruksi pemahaman keagamaan yang dapat mendukung terciptanya demokrasi, dan pengembangan Islam yang ramah dengan budaya lokal. Gus Dur mencoba untuk menetralisir ketegangan hubungan Islam dan negara terkait dengan penolakan ormas-ormas Islam terhadap pancasila sebagai asas organisasinya. Gagasan ini berangkat dari komitmen Gus Dur yang tinggi terhadap nilai-nilai universal Islam, sebagai sesuatu yang olehnya dianggap mempunyai kekuatan yang massif untuk membangun basis-basis kehidupan politik yang adil, egaliter, dan demokratis. Sedangkan bagi Nurcholish Madjid (Cak Nur) Islam dan demokrasi bukan pilihan yang delematis dan berkonsekuensi pada pecahnya kepribadian, justru sebaliknya Islam dan demokrasi harus dikombinasikan, baik dalam pengertian prinsip maupun prosedur. Cak Nur mencoba mengawinkan antara demokrasi dan Islam yang menghasilkan demokrasi dengan paradigma Islam. Cak Nur berkeyakinan bahwa tanpa Islam, demokrasi akan kekurangan landasan, nafas, dan roh, sebaliknya tanpa demokarasi, Islam akan kesulitan mewujudkan tujuan dasarnya sebagai sarana bagai kebaikan untuk semua. Penelitian ini merupakan penelitian sejarah dengan menggunakan pendekatan sejarah dan biografi. Data dikumpulkan dari bahan pustaka seperti buku, majalah, dan lain-lain. Data yang didapat kemudian diuji kredibilitasnya melalui kritik internal dan eksternal sehingga akan mendapatkan data yang kredibel dan dapat dipertanggungjawabkan. Kemudian data-data yang telah diuji diinterpretasikan untuk menjadi karya sejarah. Hasil dari penelitian ini diketahui bahwa Menurut Gus Dur demokrasi hanya bisa dibangun di atas landasan pendidikan yang kuat, dengan ditopang oleh tingkat kesejahteraan ekonomi yang memadai, sedangkan menurut menurut Cak Nur demokrasi harus dipandang sebagai suatu cara untuk mencapai tujuan dan bukan tujuan itu sendiri. Mengenai hubungan demokrasi dan Islam Gus Dur berpendapat bahwa Islam dan pola implementasinya dalam konteks negara dan bangsa, sangat memperhatikan konteks politik dan sosiologis suatu bangsa dan masyarakat. Karena ia lebih menekankan substansi ajaran Islam daripada simbol-simbol formalnya. Adapun menurut Cak Nur Islam sendiri sebenarnya memiliki konsep tetang demokrasi, yaitu lewat ajaran yang dalam Islam disebut dengan syuro (musyawarah). Baik Gus Dur maupun Cak Nur sependapat bahwa demokrasi adalah pilihan yang tepat bagi bangsa Indonesia, dan keduanya juga berpendapat bahwa demokrasi tidak bertentangan dengan Islam.
Dalam 'Islamo-Demokrasi' (Anas Urbaningrum, 2004), prinsip-prinsip dasar Islam, bagi Cak Nur, bukan saja tidak bermusuhan dengan demokrasi, malahan mampu memberikan substansi moral secara lebih maknawi. Bagi Cak Nur, Islam justru memberikan banyak kontribusi bagi demokrasi.
Prinsip demokrasi itu adalah adanya partisipasi warga negara. Adanya keterlibatan warga negara dalam berbangsa dan bernegara. Warga negara tidak hanya menjadi “patung, pion dan legitimasi politik” kekuasaan penguasa. Oleh sebab itu, partisipasi, keterlibatan dan penghargaan hak-hak serta pemenuhan hak warga negara harus dilakukan oleh penpeyelenggara negara.  Jika negara tidak memenuhi hak-hak warga negara maka negara dianggap abai dengan demokrasi. Negara dengan demikian memang bertanggung jawab atas pemenuhan hak warga negara terutama yang berada dalam jurang kesengsaraan, keterpinggiran dan kekurangan dalam banyak aspeknya. Pancasila tidak boleh hanya menjadi jargon tetapi harus menjadi tindakan hidup para peneyelenggara negara.
Tetapi, dipihak lain warga negara juga harus memiliki ketaatan pada negara. Warga negara tidak hanya meminta dipenuhi haknya, sementara tidak bersedia mentaati peraturan dan perintah negara. Membayar pajak, mentaati rambu lalu lintas, pembuatan kartu identitas penduduk, dan taat undang-undang adalah kewajiban warga negara. Warga negara tidak bisa berujar dengan alasan negara demokrasi lalu bertindak semena-mena bahkan menghukum negara dengan argumen ini adalah negara demokrasi. Negara tersandera oleh demokrasi yang lebih cocok sebagai bentuk dmeokrasi liberal, bukan demokrasi Pancasila.
Belakangan agaknya demokrasi benar-benar menjadi jargon oleh sebagian kecil warga negara bahwa karena demokrasi maka seakan-akan tidak ada aturan yang boleh diberikan oleh negara pada warganya. Negara hanyalah tempat pembuangan sampah yang tidak ada hal positif dari apa yang dilakukan negara karena praktek warga masyarakat diatur oleh peraturan yang oleh sebagian kecil warga negara dianggap membatasi aktivitasnya. Perpu Nomor 2 tahun 2017 tentang Ormas adalah salah satu yang paling mendapatkan sorotan negara dianggap otoriter dan tidak demokratis. Negara benar-benar me njadi bulan-bulanan masyarakat sipil yang merasa terkendala aktivitasnya. Pertanyaannya, benarkan jika kita menganut demokrasi Pancasila itu memang negara tidak boleh memberikan aturan pada warga negara? Saya pikir tidak demikian. Kita dapat menengok di negara manapun senantiasa terdapat peraturan yang membatasi warga negara dalam bersikap dan berperilaku-bertindak, termasuk dalam hal demonstrasi sekalipun.
Ketaatan hukum, keadilan, kebersamaan, saling menghargai, berdialog bukan ingin menang sendiri adalah prinsip-prinsip demokrasi Pancasila yang tertuang dalam sila-sila Pancasila. Penerapan keadilan hukum, keadilan sosial, memanusiakan manusia, mencerdaskan kehidupan bangsa dan bermusayawarah merupakan prinsip-prinsip demokrasi Pancasila yang sudah harus menjadi “jiwa bangsa”. Oleh sebab itu, semua warga Indonesia, baik sipil-militer-pejabat-politikus, atau pun non itu semua harus saling memahami dan menjalankan nilai-nilai Pancasila. Kita tidak bisa hanya menyalahkan dan nyiyir atas apa yang dilakukan pemerintah, dan memandang negatif karena kita tidak menyukai Presiden Joko Widodo disebabkan karena berbeda partai politik bahkan kalah dalam persaingan politik Pilihan Presiden. Kita harus ajarkan kepada warga negara harus menjadi negarawan bukan politisi rabun ayam yang hanya ingin menang sendiri, menghukum lawan politik dengan jargon-jargon yang dibungkus dengan dalil-dalil kesucian sekalipun perilakunya adalah perilaku yang lebih culas dan tidak sesuai dengan ajaran etika agama sama sekali.
Jika ada warga negara yang senantiasa berargumen ini adalah negara demokrasi, tetapi tidak bersedia menjalankan peraturan atau tidak bersedia mentaati peraturan yang ditetapkan oleh negara sebenarnya mereka adalah pelanggar demokrasi tetapi atas nama demokrasi. Inilah yang kita sebut demokrasi liberal, bukan demokrasi Pancasila. Berbeda antara demokrasi liberal dengan demokrasi Pancasila yang kita anut di Indonesia. Demokrasi liberal itu dianut oleh negara-negara yang secara faktual “menjauhkan diri antara agama dan negara” alias negara sekular dalam makna memang enggan menjadi prinsip-prinsip agama dalam bernegara-berpolitik. Indonesia dengan dasar Pancasila sudah snagat jelas prinsip keagamaan, Ke-Tuhan-an menjadi hal penting dalam bernegara.
Yudi Latif membahas demokrasi dalam Islam berangkat dari prinsip bahwa Tuhanlah satu-satunya wujud yang pasti. Konsekuensinya, menurut Yudi, setiap bentuk pengaturan hidup sosial manusia yang melahirkan kekuasaan mutlak, dinilai bertentangan dengan jiwa Tauhid. Kelanjutan logis dari prinsip tauhid adalah persamaan manusia di hadapan Tuhan, yang melarang adanya perendahan martabat dan pemaksaan kehendak/pandangan antarsesama manusia. Prinsipprinsip persamaan dalam bermusyawarah terdapat dalam Quran Surah Al-Hujurât (Q.s. 49: 13).
Dalam analis al-Buraey, sisi administrasi tampak bahwa siapa saja yakin pada Islam dan menjalankannya sebagai tuntunan hidup, yang memiliki pengetahuan memadai tentang syariat, mempunyai sikap yang kuat tentang persamaan, dikenal sebagai orang yang salih, maka orang seperti itu memenuhi syarat untuk jabatan publik. Oleh karena itu, Syaf’i Maarif menjelaskan, “Islam berpihak sepenuhnya kepada sistem demokrasi, sekalipun dalam menghadapi isu-isu penting tertentu harus berbeda dengan sistem demokrasi yang berkembang di negara-negara non-Muslim”.
Berbagai referensi menunjukkan demokrasi berkembangan secara dinamis dengan beragam pengertian dan penggolongannya. Para founding fathers tidak menghendaki demokrasi paham liberal di antara beberapa ragam tersebut. Oleh karena itu, dipilih konsep demokrasi permusyawaratan, yang dituangkan dalam rumusan sila keempat Pancasila. Pemikiran tersebut menjadi istimewa karena terdapat kontribusi pemikiran Islam.
Islam bukan bukan berarti untuk dirubah substansinya tetapi lebih mengedepankan nilai universal (kemajemukan) salah satunya penyesuaian dengan semangat demokrasi (dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat). Ujar Paisal (Mahasiswa Pasca Sarjana UNSUR dan Kabid. PAO HMI Cabang Cianjur).


Comments0

Terima Kasih atas saran, masukan, dan komentar anda.

Type above and press Enter to search.