BSY0BSWiGSMpTpz9TUAoGfC7BY==

Bentuk Solidaritas Atau Krisis Eksistensi

   (Respon Terhadap Kejadian Terjaringnya Siswa Yang Hendak Melakukan Tawuran di Cianjur)

Oleh: Hasan Munadi, S.Pd. (Pengurus Daerah Forum TBM Kab Cianjur)

  Fenomena tawuran antar pelajar memang sudah menjadi persoalan klasik pada dunia pendidikan formal, akhir akhir ini viral kembali kejadian demikian di wilayah kabupaten cianjur. Namun sebelum terjadinya tawuran pihak kepolisian sudah melakukan langkah preventif dengan menjaring puluhan siswa terkonfirmasi sebagaimana yang diberitakan di instagram polres cianjur terdapat 96 pelajar dari berbagai sekolah yang masih duduk dibangku sekolah menengah pertama (SMP).

   Namun apakah kejadian tersebut serta merta menyalahkan para pelajar tersebut yang terjaring? Ternyata setelah ditelusuri gerakan para peserta didik setingkat SMP diatas buntut daripada apa yang telah terjadi sebelumnya, sebagaimana yang diketahui, mengutip yang diberitakan oleh kumparan.com yang juga viral di media sosial bahwa telah terjadi perundungan terhadap enam siswa SMP di cianjur dengan cara disuruh mencium kaki siswa lainnya hingga melakukan tendangan. Persoalan ini begitu kompleks dan saling berkaitan dari satu kejadianterhadap kejadian lainnya.

  Jika ditinjau dari konsep perkembangan anak yang dalam hal ini peserta didik pada jenjang pendidikan formal kita coba baca teori Taksonomi Bloom yang dicetuskan oleh Benjamin Bloom yang merupakan seorang psikolog bidang pendidikan yang meneliti dan mengembangkan mengenai kemampuan berpikir seseorang dalam suatu proses pembelajaran.

  Taksonomi Bloom adalah konsep tentang tiga model hierarki yang digunakan untuk mengklasifikasikan perkembangan pendidikan anak secara objektif. Tiga model aspek tersebut adalah kognitif, afektif dan psikomotor.

  Penulis akan mencoba membuka pemahaman yang singkat mengenai teori tersebut, Pertama aspek kognitif, sederhananya aspek kognitif merupakan aspek yang berkaitan dengan nalar atau proses berpikir, yaitu kemampuan dan aktivitas otak untuk mengembangkan kemampuan rasional seorang pelajar/anak. Kedua Aspek afektif, Ranah afeksi ini adalah sesuatu yang berdasarkan segala sesuatu yang berkaitan dengan emosi dan hati seperti penghargaan, nilai, perasaan, semangat, minat, dan sikap terhadap sesuatu hal yang terjadi sebagai bentuk responsifitas, dalam hal ini bentuk solidaritas pun mungkin masuk pada ranah ini karena sudah terjalinnya emosional antar peserta didik sehingga ketika yang satu merasakan sakit maka dirasakan juga oleh yang lainnya. Ketiga Ranah Psikomotorik, psikomotorik adalah domain yang meliputi perilaku gerakan dan koordinasi jasmani, keterampilan motorik dan kemampuan fisik seseorang pelajar/anak/peserta didik.

  Dengan terjadinya fenomena kekerasan yang di alami ataupun melakukan prilaku kriminal apakah anak yang sedang menempuh pendidikan yang disebut dengan peserta didik atau pelajar merupakan bentuk aktualisasi dirinya terhadap apa yang di dapatkan di sekolahnya, ataupun dapat di klasifikasikan prilaku menyimpang? Hemat penulis segala macam apapun tindakan kekerasan tidak dibenarkan adanya pada lingkungan pendidikan baik dari guru terhadap muridnya maupun sebaliknya bahkan terhadap sesamanya, bukan hanya dilingkungan sekolah, bahkan dilingkungan kehidupan pada umumnya pun prilaku perundungan, pelecehan, dan segala bentuk kekerasan baik verbal maupun non verbal tentunya tidak dibenarkan adanya. Lalu kenapa terjadi prilaku tersebut? Siapa yang salah? Apakah peserta didik memerlukan ruang untuk mengaktualisasikan potensi dirinya?

  Selanjutnya, kita coba lihat teori kebutuhan dari Abraham Maslow barangkali ada kebutuhan yang hendak dicapai juga oleh para pelajar tersebut. Pada teori ini, Maslow beranggapan bahwa kebutuhan menjadi alasan terbentuknya motivasi pada diri seorang individu untuk melakukan semua kegiatan yang sekiranya dapat menopang individu tersebut dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam hal teori kebutuhan ini pun setidaknya ada lima tingkatan kebutuhan manusia yang disampaikan oleh Abraham Maslow.

  Pertama kebutuhan fisiologi atau kebutuhan dasar hidup, kebutuhan dasar merupakan hal yang harus terlebih dahulu terpenuhi agar manusia dapat bertahan hidup dan melanjutkan hidupnya. Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan manusia akan oksigen, air, makanan, suhu tubuh yang normal, tidur, homeostasis, kebutuhan seksual, dan sebagainya

  Kedua kebutuhan akan rasa aman, untuk melangkah ke tingkat selanjutnya, seorang individu harus memenuhi kebutuhan pada tingkat ini. Maslow menjelaskan bahwa kebutuhan akan rasa aman ini meliputi rasa aman secara fisik maupun emosional.

  Ketiga kebutuhan Sosial (Rasa cinta, kasih sayang, serta hak kepemilikan), pada tingkat ini, seorang individu membutuhkan cinta, kasih sayang, dan memiliki hak kepemilikan terhadap suatu hal. Selain itu, seorang individu dapat mendapatkan kebutuhan di tingkat ini dengan menjalin pertemanan dengan individu lain, membentuk keluarga, bersosialisasi dengan suatu kelompok, beradaptasi dengan lingkungan sekitar, serta berada dalam lingkungan masyarakat.

  Keempat Kebutuhan mendapatkan penghargaan, Maksud penghargaan bagi Maslow adalah harga diri. Setiap individu berhak mendapatkan harga diri mereka masing-masing. Harga diri dapat berasal dari diri sendiri maupun orang lain. Menurut Maslow, harga diri dibagi menjadi dua bentuk yakni bentuk menghargai diri sendiri dan bentuk penghargaan dari orang lain.

  Kelima Kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri, Kebutuhan di tingkat ini merupakan kebutuhan yang paling tertinggi. Aktualisasi diri dapat diartikan sebagai wujud sesungguhnya untuk mencerminkan harapan serta keinginan seorang individu terhadap dirinya sendiri.

  Dari kelima hierarki kebutuhan manusia diatas yang disampaikan oleh Maslow maka dapat difahami bahwa setiap individu menjadi niscaya untuk mewujudkan atau mendapatkan kebutuhan akan kelangsungan hidupnya di muka bumi, kaitannya dengan fenomena yang dapat di klasifikasikan sebagai prilaku kenakalan remaja diatas maka sudah semestinya tiap individu itu untuk mewujudkan kebutuhannya harus melihat situasi dan kondisi sehingga tidak mengganggu satu sama lainnya apalagi sampai merugikan baik materi maupun non materi baik fisik maupun non fisik/psikis sehingga juga tanpa disadari akan berdampak pada merugikan dirinya sendiri. Tentunya dalam hal dunia pendidikan, peran guru dan orangtua bahkan lingkungan sehari-harinya sangat central untuk mengawasi anak didik sehingga untuk mewujudkan segala kebutuhan hidupnya dapat dicapai dengan baik, Lalu ketika terjadinya hal yang menyimpang apakah itu merupakan bentuk solidaritas ataukah krisis akan eksistensi?

Comments0

Terima Kasih atas saran, masukan, dan komentar anda.

Type above and press Enter to search.