Penulis /Analisis : Nanang Gozali |
Tidak ada peristiwa musibah sekalipun yang hampa hikmah. Tak terkecuali gonjang-ganjing politik saat ini. RUU Pilkada yang beberapa hari lalu sempat mau ditolak oleh Baleg DPR yang kemudian menyulut aksi demonstrasi, ternyata telah membawa angin segar khususnya bagi PDIP yang awalnya memang menjadi target penggerusan penguasa.
Dengan dimuluskannya UU Pilkada dari MK, maka PDIP bisa mengusung calon Gubernur dan wakil Gubernur sendiri pada Pilkada DKI. Dan sudah hampir pasti PDIP bersama partai non Parlemen Hanura, Partai Ummat, dan Partai Buruh akan mengusung Anies Rasyid Baswedan sebagai calon gubernur DKI pada Pilkada November 2024 ini.
Dengan Anies sebagai mantan Gubernur menjadi calon yang akan berkontestasi dengan Ridwan Kamil yang juga sebagai mantan Gubernur, satu di DKI dan satunya lagi di Jawa Barat, maka Pilkada DKI tahun ini akan sangat menarik. Bahkan bisa lebih menarik ketimbang Pilpres sekalipun. Saya menginginkan Pilkada DKI besok hanya ada dua pasangan calon sehingga terjadi head to head. Pasti akan seru seperti final Persib vs Persija.
Dengan PDIP mengusung Anies, semakin meneguhkan keyakinan bahwa dalam dunia politik tidak ada teman yang abadi, tidak ada musuh abadi. Mungkin sebelumnya tidak banyak orang yang menyangka kalau PDIP akan mengusung Anies, atau kalau Anies mau diusung PDIP. Berbagai teori tentang analisa politik bisa terbantahkan dan terpatahkan dengan ‘tidak ada kawan yang abadi, tidak ada musuh yang abadi, dan yang abadi hanya kepentingan’.
Kepentingan apa yang ingin bersama-sama dikejar atau paling tidak ditarget oleh PDIP dan Anies?
Bahwa bersatunya PDIP dengan Anies tidak bisa dipisahkan dari kondisi Negara yang secara keseluruhan. PDIP dengan figure sentralnya Megawati Soekarnoputri memandang dan bahkan sudah sampai kepada kesimpulan bahwa arah Negara ini sudah melenceng dari cita-cita para pendiri bangsa termasuk ayahnya. Jokowi yang dibesarkan PDIP dan yang menjadi faktor penting melenggangnya ke kursi kepresideanan bahkan sampai dua periode, oleh Megawati dipandang sudah banyak melanggar konstitusi. Dan yang menjadi masalah, Jokowi sudah tidak lagi menjadi bagian dari PDIP, sehingga Megawati tidak bisa lagi menjewernya. Di pihak yang lain, sebagai politikus yang berasal dari akademisi, Anies masih tetap konsen pada nilai-nilai obyektivitas, integritas, dan moralitas. Bahwa yang ada dalam pikirannya, bagaimana membangun dan mengembangkan Negara ini dengan tata nilai yang pondasinya telah dipancangkan oleh para founding fathers, yakni Pancasila dan UUD 1945;
Mungkin saja, apa yang dilakukan PDIP dan Anies berkolaborasi dalam menghadapi Pilkada DKI, sebagai bentuk perlawanan terhadap upaya dan strategi untuk menggerus kekuatan PDIP dan Megawati yang notabene mantan induk semangnya, sekaligus untuk menamatkan karier politik Anies Baswedan. Bagaimanapun, faktor emosional-personal akan turut mewarnai pertimbangan politik, baik bagi PDIP yang tidak bisa lepas dari sosok Megawati maupun bagi Anies yang mungkin pernah merasa diakali pada kontestasi Pilpres beberapa bulan yang lalu.
Comments0
Terima Kasih atas saran, masukan, dan komentar anda.