Analisis Pagi
Oleh : Nang GO
Berita yang saat ini tengah menjadi trending topik adalah bebas bersyaratnya Jessica Kumala Wongso yang pada tahun 2016 divonis berslah telah melakukan pembunuhan berencana terhadap sahabatnya, Wayan Mirna Salihin. Tak main-main, hukuman yang dijatuhkan kepadanya penjara selama 20 tahun penjara. Namun, gara-gara film documenter yang digarap Netflix berjudul Ice Cold, terbongkarlah bukti-bukti baru (novum) yang memberi petunjuk bahwa Jessica tidak bersalah.
Dari situlah proses pengungkapan kembali kasus Kopi Sianida dimulai, yang secara sukarela digarap oleh sejumlah pengacara diketuai pengacara kondang Otto Hsibuan, yang juga adalah pengacara pada awal kasus ini terjadi.
Tampaknya, dalam kasus pembunuhan Kopi Sianida ini, ada terjadi “adu feeling” antara hakim dan pengacara, dan feeling pengacara lebih tajam dari hakim. Meski hakim sudah mengetuk palu vonis penjara 20 tahun bagi Jessica yang sudah dinyatakan sah secara meyakinkan sebagai pembunuh sahabatnya, namun rupanya pengacara Otto Hasibuan sejak menangani kasus ini tetap dalam feeling dan keyakinannya bahwa Jessica bukan pembunuhnya dan dia tidak bersalah. Dalam pandangan saya, Otto Hsibuan adalah pengacara hebat yang selalu berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan. Ia adalah sedikit dari pengacara di Negara kita yang berpegang pada prinsip dan idealisme kepengaraan.
Setelah melalui proses pengembangan novum dengan perjuangan yang sangat berat karena harus menghadapi tantangan dan ancaman terutama dari pihak-pihak yang dekat dengan kekuasaan, akhirnya bertepatan dengan hari ulang tahun kemerdekaan RI yang ke 79, Jessica Kumala Wongsi dinyatakan Bebas Bersyarat.
Apa makna yang bisa kita artikulasikan dari bebasnya Jessica?
Ada beberapa pelajaran berharga yang mudah-mudahan menjadi pegangan buat kita.
- Bahwa memang sesuai dengan keyakinan kita sebagai muslim mukmin, bahwa sesungguhnya Allah tidak tidur, لاتاخذه سنة ولا نوم adalah dzat yang tidak terkena lupa dan tidur. Diksi TUHAN TIDAK TIDUR sering diucapkan oleh orang yang dihukum di dunia padahal ia tidak berslah;
- Bahwa hukum yang ditegakkan oleh system peradilan di dunia bukan hukum yang benar-benar absolut dan obyektif. Hakim, jaksa, temasuk pengacara adalah orang-orang yang hanya berusaha menegakkan keadilan dengan perspektif masing-masing. Adil menurut hakim belum tentu adil menurut pengacara. Adil menurut jaksa belum tentu adil menurut terdakwa. Begitulah seterusnya;
- Bahwa penjara dan lembaga pemasyarakatan, sesungguhnya tidak identik dengan kurungan bagi orang-orang yang benar-benar bersalah. Berdasarkan pengamatan penulis ketika beberapa tahun yang lalu pernah membina pesantren Attaubah Lapas Kelas IIB Cianjur, tidak semua orang yang ada di Lapas adalah orang yang bersalah. Paling tidak ada beberapa kategori; ada orang yang memang salah tapi karena karena diblow-up sedemikian rupa oleh pihak-pihak yang kecewa sehingga kesalahan itu menjadi besar dan rumit, dan akhirya masuk pengadilan. Ada lagi yang memang sama sekali tidak bersalah secara hukum agama Islam, misalnya kasus pernikahan di bawah umur yang juga sengaja dibenturkan dengan undang-undang perlindungan anak. Padahal jelas pernikahan di bawah umur itu sah dan halal menurut syariat. Ada lagi yang masuk LP itu karena salah tangkap;
- Bahwa bagi seorang mukmin, keberadaan penjara di dunia itu relative. Bisa merupakan ujian untuk meningkatkan keimanan seperti yang dialami oleh para ulama dan pejuang agama, bisa sebagai pelajaran untuk lebih meningkatkan kewaspadaan agar tidak berbuat melanggar hukum. Bahkan bisa sebagai tempat yang aman untuk menjalankan bisnis narkoba. Yang ini tentu hanya untuk orang-orang yang tidak beriman.
Comments0
Terima Kasih atas saran, masukan, dan komentar anda.