Penulis : Nanang Gozali |
Setelah memilih presiden dan wakil presiden yang sebentar lagi presiden terpilih, Prabowo Gibran akan segera dilantik untuk masa jabatan 2024-2029, tanggal 27 November yang akan datang seluruh rakyat juga akan memilih gubernur, bupati dan wali kota pada perhelatan Pilkada serentak.
Tanggal 27 November nanti akan menjadi ajang pesta demokrasi kedua kalinya bangsa Indonesia setelah Pilpres beberapa bulan lalu.
Pilkada serentak 2024 akan berlangsung di 37 provinsi, 415 kabupaten dan 93 kota. Peristiwa politik ini akan benar-benar menjadi hajat KPUD yang sangat meriah tapi juga rentan dengan efek sosiologis yang ditimbulkannya karena masih kurangnya pemahaman dan penghayatan dari sebagian rakyat terhadap esensi dan fungsi demokrasi.
Esensi demokrasi adalah pemerintahan rakyat. Dalam sistem demokrasi, rakyatlah yang berkuasa. Rakyatlah yang berdaulat. Pilkada itu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Dalam faktanya, pemahaman yang benar tentang esensi demokrasi tidak hanya diperlukan bagi rakyat yang memilih, melainkan yang lebih penting bagi para calon pasangan gubernur, bupati wali kota, bahwa mereka dipilih bukan untuk kepentingan mereka melainkan untuk kepentingan rakyat. Mereka yang menjadi pasangan calon tidak perlu bangga dan merasa menjadi orang terbaik. Mereka yang menang dalam kontestasi, pun tidak boleh terlalu sumringah, bahkan sebaliknya justru harus merasa sedih karena akan menanggung beban amanah rakyat yang sangat berat, amanat kedaulatan rakyat.
Di Indonesia, sejak kemerdekaan, sistem demokrasi telah mengalami empat kali bongkar pasang. Dari demokrasi parlementer (1945-1959) dirubah menjadi demokrasi terpimpin (1959-1965). Dari demokrasi terpimpin dirubah lagi menjadi demokrasi Pancasila (1967-1998) semasa kepemimpinan Presiden Soeharto selama 32 tahun. Dan pasca lengsernya Soeharto, demokrasi diganti lagi dengan Reformasi (1998-sekarang).
Perubahan demi perubahan tersebut menujukan bahwa sistem demokrasi bukan sistem yang sempurna, bukan sistem pemerintahan yang tidak mengandung banyak kelemahan dan oleh karenanya harus selalu beradaptasi dengan dinamika perkembangan zaman.
Duapuluh enam tahun sudah masa Reformasi berlalu, yang dalam fase perkembangan manusia merupakan masa awal fase kedewasaan. Idealnya, kedewasaan rakyat dalam berdemokrasi sudah mulai tampak. Perbedaan aspirasi pada pasangan calon dan pilihan pada partai, harusnya sudah tidak menjadi persoalan serius yang menimbulkan riak-riak disintegrasi sosial. Tidak seperti selama ini, beda pilihan cabup cawabup, pertemanan menjadi renggang, silaturahmi terputus, dan dampak-dampak sosial lainnya.
Demokrasi, meskipun tidak ada dalilnya secara tegas dalam Islam dan Alquran, tetapi Islam mengajarkan prinsip kesamaan hak dan musyawarah sebagai dua indikator demokrasi. Dalam prinsip kesamaan hak diajarkan bahwa setiap manusia punya hak sama (berdaulat atas dirinya) untuk memilih agama dan keyakinan, berpendapat dan bersyarikat, dan seterusnya. Dalam prinsip musyawarah diajarkan pentingnya memiliki rasa tanggung jawab dan saling menghormati pendapat, dan seterusnya.
Kesimpulannya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, demokrasi itu sistem yang bagus untuk masyarakat Indonesia yang heterogen dan multikultural. Yang menjadi tidak bagus karena mayoritas rakyatnya yang belum lulus berdemokrasinya. Belum dewasa dalam menyikapi keragaman dan perbedaan. Banyak yang memahami perbedaan itu pertentangan.
Comments0
Terima Kasih atas saran, masukan, dan komentar anda.