BSY0BSWiGSMpTpz9TUAoGfC7BY==

AROGANSI TRUMP DAN PERANG NARASI DALAM KONFLIK GLOBAL

Oleh : Nanang Gojali - Pengajar di FISIP UIN SGD Bandung dan
Pembina Ngaji Bareng (NGABAR) Cianjur

Konflik global yang terus memanas kian menunjukkan bagaimana retorika para pemimpin dunia membentuk arah sejarah, baik melalui ancaman langsung maupun permainan narasi yang kompleks. 

Salah satu pernyataan kontroversial yang mencuat baru-baru ini adalah ancaman Donald Trump, Presiden terpilih Amerika Serikat, yang menyebut bahwa "neraka" akan terjadi di Timur Tengah jika HAMAS tidak segera membebaskan sandera Israel sebelum pelantikannya sebagai Presiden AS pada 20 Januari 2025.

Ancaman ini tidak hanya menggambarkan eskalasi tajam dalam konflik Timur Tengah, tetapi juga mencerminkan usaha Trump untuk menegaskan kembali dominasi geopolitik Amerika Serikat di tengah tekanan internasional. 

Pernyataan tersebut memperlihatkan bagaimana retorika kekuasaan digunakan untuk mengukuhkan posisi hegemonik AS, yang mengorbankan prinsip keadilan global dan penderitaan rakyat Palestina.

Di sisi lain, Presiden Rusia, Vladimir Putin, sebelumnya telah membuat pernyataan keras dalam konteks pembelaannya terhadap perjuangan Palestina. Putin memperingatkan bahwa sebelum dunia Islam bangkit di bawah Imam Mahdi, Rusia akan memastikan bahwa barat lebih dahulu merasakan "kiamat." 

Pernyataan ini tidak hanya menyoroti posisi Rusia sebagai penantang hegemoni barat, tetapi juga menggambarkan dimensi spiritual dan eskatologis dari konflik global ini.

Artikel ini mengupas bagaimana retorika Trump dan Putin menjadi simbol dari perang narasi yang lebih besar, melibatkan dimensi geopolitik, ideologis, hingga teologis. Melalui perspektif ini, konflik Timur Tengah tidak hanya dipahami sebagai perseteruan kekuatan politik semata, tetapi juga sebagai bagian dari perjalanan sejarah dunia menuju transformasi besar yang telah lama dinubuatkan dalam tradisi Islam.

Ancaman Trump menggambarkan pendekatan agresif AS terhadap HAMAS, memperdalam ketegangan yang telah melanda Gaza. Di sisi lain, HAMAS memanfaatkan sandera sebagai alat untuk mendesak AS dan sekutunya agar menghentikan pendudukan brutal di Palestina. 

Situasi ini memunculkan gambaran bahwa AS, dengan dukungan Zionisme, lebih mengutamakan kepentingan geopolitik dibandingkan penderitaan rakyat Palestina.

Namun, ancaman dari Barat tidak berdiri sendiri. Vladimir Putin, Presiden Rusia, sebelumnya telah mengeluarkan peringatan yang sama kerasnya kepada dunia barat: “Sebelum Imam Mahdi murka dan umat Islam bangkit, Rusia akan memastikan barat merasakan ‘kiamat’ terlebih dahulu.” 

Pernyataan ini menunjukkan posisi Rusia sebagai kekuatan tandingan terhadap dominasi barat, sekaligus menegaskan solidaritas Rusia terhadap perjuangan Palestina.

Dimensi Eskatologis di Balik Perang Narasi

Secara konvensional, konflik Timur Tengah lebih dipahami melalui kerangka geopolitik. Tetapi dalam tradisi Islam, peristiwa-peristiwa ini memiliki dimensi eskatologis yang mendalam. Eskatologi Islam memandang eskalasi konflik besar yang sedang terjadi, sebagai bagian dari jalan menuju Malhamah Kubra atau perang besar yang akan mengakhiri tirani global.

Di balik retorika keras Trump dan Putin, terdapat perang narasi yang lebih besar: persaingan ideologis, politik, dan teologis antara dua kutub kekuatan dunia. Trump menggunakan narasinya untuk menunjukkan AS sebagai penguasa dominasi global, sementara Putin menegaskan posisinya sebagai pelindung nilai-nilai yang menentang imperialisme barat.

Narasi Trump menargetkan pendukung Zionisme di dalam dan luar negeri, mempertegas AS sebagai “polisi dunia.” Sebaliknya, Putin membangun narasi yang menantang hegemoni barat yang menarik simpati dari negara-negara yang merasa terpinggirkan oleh imperialisme global. Dengan meningkatnya kekuatan aliansi seperti BRICS, narasi Putin semakin relevan bagi banyak negara berkembang, termasuk Indonesia.

Dalam konteks ini, kebakaran besar di Los Angeles, yang bertepatan dengan pernyataan arogan Trump, dalam sudut pandang teologi dilihat sebagai peringatan Ilahi terhadap kesombongan manusia, mengingatkan kita pada kehancuran umat-umat terdahulu yang menentang kebenaran.

Fenomena ini juga mencerminkan bagaimana sejarah dunia tidak bergerak secara acak, melainkan menuju  puncak tertentu yang telah dinubuatkan, di mana kebenaran dan keadilan universal ditegakkan. 

Kesimpulan

Sejarah menunjukkan bahwa arogansi kekuasaan akan berakhir pada kehancuran. Ancaman Trump tentang “neraka di Timur Tengah” tidak hanya menggarisbawahi ambisi tiranik, tetapi juga menjadi simbol kehancuran global yang diakibatkan oleh keserakahan dan ketidakadilan. 

Ibarat tiran Fir'aun, semakin keras ia menindas kaum Nabi Musa dan semakin kencang ia mengejar Musa, semakin dekat pula ia pada takdir kehancurannya. Semakin keras mereka menindas rakyat Palestina, semakin dekat pula mereka pada takdir kehancurannya.

Dengan demikian, pada akhirnya perang narasi antara Trump dan Putin tidak sekadar soal politik, tetapi juga menggambarkan pertarungan ideologis menuju transformasi tatanan dunia baru berikutnya. Namun, sebelum tatanan dunia berikutnya itu datang, dunia akan menghadapi masa transisi yang sulit, yaitu perang besar dengan segala dampaknya.

Namun kabar baiknya, perjuangan dalam masa transisi sulit yang tidak terhindarkan ini, bukanlah akhir kehidupan, melainkan awal dari perubahan menuju peradaban universal yang penuh Rahmat. Sejarah mengajarkan, tidak ada perubahan fundamental tanpa melalui peristiwa besar. Mengakhiri dominasi kekuasaan tiranik adalah perubahan besar yang sangat fundamental, sehingga konflik besar dalam skala global tidak terhindarkan.

Jika nubuat menyatakan bahwa sejarah akan mengalami lima fase, dan sekarang kita berada di fase keempat, yaitu fase mulkan jabbariyyan, maka fase tiranik ini pasti akan berakhir pada saatnya (Musnad Ahmad, 18430; Hadits Hasan).

Implikasi pada Kebijakan

Arogansi kekuasaan global, seperti yang tergambar dalam retorika Trump tentang “neraka di Timur Tengah,” memberikan gambaran bahwa konflik geopolitik tidak hanya menjadi ajang perebutan dominasi, tetapi juga ujian besar bagi tatanan dunia yang tengah menuju transformasi. 

Kini, arogansi Trump yang mencerminkan  kepentingan geopolitik AS dan sekutu alamiahnya, memperoleh tantangan sebanding melawan status quo hegemoni barat yang dipimpin oleh Rusia. Dari perspektif Eskatologi Islam, sebagaimana sering diingatkan oleh Syekh Imran, dan kini juga oleh banyak tokoh, bahwa dunia kini berada dalam fase kritis yang sangat mencemaskan.

Setelah resmi bergabung dengan BRICS sejak 6 Januari 2025, Indonesia kini menjadi bagian dari aliansi yang menantang dominasi barat, menghadapkan Indonesia pada tanggung jawab besar untuk memastikan stabilitas domestik di tengah dinamika global yang terus memanas.

Pemerintah Indonesia perlu mendorong kesadaran kolektif tentang pentingnya menghadapi masa transisi ini dengan sikap proaktif. Kesadaran ini harus mencakup pemahaman akan peran strategis Indonesia di dalam BRICS, yang menuntut keberanian untuk melepaskan ketergantungan pada hegemoni barat. 

Pemerintah dapat mengedukasi masyarakat melalui media massa, pendidikan, dan forum-forum kebangsaan tentang urgensi kemandirian dalam menghadapi tantangan global.

Untuk menghadapi dinamika masa transisi ini, perencanaan anggaran nasional harus berfokus pada:

1. Ketahanan Energi dan Pangan

Mengalokasikan dana untuk memperkuat sektor agrikultur, infrastruktur energi terbarukan, dan diversifikasi sumber daya guna mengurangi ketergantungan pada impor.

2. Pertahanan dan Keamanan

Memprioritaskan investasi di sektor pertahanan nasional untuk menghadapi potensi konflik global, terutama di wilayah strategis seperti Natuna.

3. Inovasi Teknologi dan Pendidikan

Meningkatkan anggaran untuk riset dan pengembangan teknologi yang mendukung kemandirian ekonomi, serta memperkuat pendidikan berbasis karakter untuk mencetak generasi yang siap menghadapi transformasi besar.

4. Jaring Pengaman Sosial

Menyediakan program perlindungan sosial yang lebih tanggap terhadap dampak perubahan global dalam rangka mengantisipasi masa transisi.

Dengan demikian, masa transisi menuju tatanan dunia baru berikutnya, tidak hanya menuntut ketahanan individu, tetapi juga kesadaran kolektif yang diterjemahkan ke dalam kebijakan strategis. Mungkin kita masih memiliki sedikit waktu untuk mempersiapkan diri, mudah-mudahan belum terlambat.

Comments1

  1. May the American President also be burned in the flames in new york" aameen

    ReplyDelete

Terima Kasih atas saran, masukan, dan komentar anda.

Type above and press Enter to search.