![]() |
Oleh: Nang Go Dosen UIN Bandung/Pembina Komunitas NGABAR Cianjur |
Indonesia, negeri yang kaya akan sumber daya alam dan budaya, kini berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, banyak yang optimis bahwa Indonesia sedang menuju masa keemasan, sebuah era di mana kemakmuran, keadilan, dan kemajuan akan menjadi nyata. Namun, di sisi lain, tidak sedikit yang pesimis, melihat tanda-tanda bahwa Indonesia justru sedang menuju masa kegelapan, di mana korupsi, ketidakadilan, dan ketidakpastian semakin menguat.
Fenomena paradoks politik kontemporer ini menjadi sorotan utama dalam wacana publik, terutama sejak kebijakan-kebijakan Presiden Prabowo mulai diimplementasikan. Tarik-menarik antara agenda reformasi dan kepentingan status quo menciptakan ketidakpastian, yang oleh sebagian pengamat disebut sebagai "politik dua matahari"—sebuah situasi di mana ada dua kekuatan besar yang bersaing dalam menentukan arah bangsa.
Janji Perubahan yang Mulai Meredup?
Presiden Prabowo Subianto, sejak awal menjabat, telah mencanangkan sejumlah kebijakan yang dianggap sebagai langkah besar menuju perubahan signifikan. Tiga isu utama yang menjadi fokusnya adalah:
1. Perampasan aset koruptor, sebagai bagian dari reformasi hukum dan upaya pemberantasan korupsi.
2. Penyelesaian isu pagar laut, yang berkaitan dengan kedaulatan maritim Indonesia.
3. Efisiensi birokrasi, untuk memastikan bahwa tata kelola pemerintahan lebih transparan dan efektif.
Kebijakan-kebijakan ini awalnya disambut dengan antusias oleh banyak kalangan, terutama karena dianggap sebagai upaya untuk memberantas korupsi dan meningkatkan transparansi pemerintahan. Namun, belakangan ini, gerakan perubahan yang diusung oleh Presiden Prabowo mulai menunjukkan tanda-tanda meredup. Banyak yang merasa bahwa kebijakan-kebijakan tersebut tidak sepenuhnya dijalankan dengan konsisten, atau bahkan menghadapi resistensi dari dalam sistem itu sendiri.
Fenomena ini mencerminkan betapa kuatnya kepentingan status quo dalam mempertahankan dominasi mereka. Bahkan, ada indikasi bahwa reformasi hanya berlangsung setengah hati, dengan kompromi-kompromi politik yang berpotensi melemahkan visi awal perubahan.
Dalam konteks ini, firman Allah di dalam QS. Al-Baqarah: 11-12 menjadi sangat relevan:
"Dan apabila dikatakan kepada mereka, 'Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi!' Mereka menjawab, 'Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan.' Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah para perusak, tetapi mereka tidak menyadarinya." (QS. Al-Baqarah: 11-12).
Ayat ini menggambarkan ironi dalam politik: ada pihak yang mengklaim membawa perubahan dan perbaikan, tetapi justru tanpa sadar menciptakan lebih banyak kerusakan.
Skala Global: Indonesia dan BRICS
Dalam skala global, fenomena paradoks ini terlihat dari kebijakan Presiden Prabowo untuk membawa Indonesia menjadi anggota BRICS (Brazil, Russia, India, China, South Africa). Langkah ini dianggap sebagai upaya untuk memperkuat posisi Indonesia di kancah internasional dan mengurangi ketergantungan pada kekuatan Barat.
Namun, kebijakan ini juga menuai resistensi dari elemen-elemen dalam negeri yang merasa terganggu dengan orientasi baru ini. Sejak lama, Indonesia berada dalam orbit geopolitik Barat, terutama melalui hubungan ekonomi dan diplomatik dengan Amerika Serikat dan sekutunya. Peralihan orientasi ke BRICS menimbulkan kekhawatiran di kalangan elite ekonomi dan politik yang memiliki kepentingan erat dengan blok Barat.
Presiden keenam Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, pernah menyebut fenomena ini sebagai "dua matahari" dalam sistem kendali politik Indonesia. Artinya, ada dua kekuatan yang saling tarik-menarik: satu ingin mempertahankan status quo, sementara yang lain ingin membawa perubahan signifikan. Tarik-menarik ini menciptakan kegaduhan, ketidakstabilan, dan ketidakpastian dalam politik Indonesia.
Skala Regional: Jawa Barat dan Kontroversi Kebijakan
Di tingkat regional, paradoks ini juga terlihat jelas. Misalnya, di Jawa Barat, gubernur baru secara terbuka menyoroti kebijakan gubernur lama, terutama dalam hal jual-beli jabatan yang semakin transaksional. Hal ini menuai pro dan kontra: di satu sisi, dianggap sebagai upaya membersihkan pemerintahan dari praktik korupsi dan nepotisme; di sisi lain, menimbulkan resistensi internal dari kalangan yang selama ini menikmati privilese politik.
Salah satu contoh kebijakan kontroversial adalah larangan studi tour bagi sekolah-sekolah. Kebijakan ini diklaim bertujuan menghemat anggaran dan meningkatkan efisiensi. Namun, banyak pihak yang berpendapat bahwa kebijakan ini justru membatasi ruang gerak pendidikan dalam hal akses sumber belajar dan kreativitas siswa.
Fenomena ini menunjukkan bahwa kebijakan yang dimaksudkan untuk perubahan tidak selalu diterima dengan baik, terutama ketika kepentingan ekonomi dan politik terganggu.
Perspektif Eskatologi Islam: Menuju Fase Akhir Sejarah
Dari perspektif Eskatologi Islam, fenomena paradoks ini dapat dilihat sebagai tarik-menarik antara kekuatan yang ingin mempertahankan status quo (mulkan jabbariyyan) dengan kekuatan baru yang ingin mengakhirinya.
Comments0
Terima Kasih atas saran, masukan, dan komentar anda.